Ketika baca beberapa media, Faisal Basri memberikan statement yang menyebutkan bahwa yang membuat masyarakat Indonesia miskin itu jika harga beras naik. Jadi menurut pakar ekonomi ini, kenaikan harga BBM membuat masyarakat Indonesia miskin itu hanya mitos.
Lah, saya jadi heran donk, soalnya selama ini petani beras tidak bisa sejahtera karena harga berasnya terlalu murah. Gimana mau sejahtera, ongkos produksi naik terus, sementara harga jual, termasuk HPP yang diserap Bulog, sangat rendah. Makanya nilai tukar petani (NTP) terus menurun. Sebaiknya harga beras memang sesuai dengan harga pasar, terutama untuk kelas menengah - atas, dan harga itu bisa menjadi insentif peningkatan pendapatan petani. Jangan dinikmati pula oleh tengkulak dan pemain pasar. Sementara untuk masyarakat miskin, mereka bisa dapat jatah beras raskin yang merupakan subsidi khusus oleh pemerintah.
Itu dari sisi petani yang memproduksi. Sedangkan dari nilai produknya sendiri, pernyataan itu juga ngawur. Karena kenaikan harga beras tidak akan memicu kenaikan harga lainnya. Beda dengan kenaikan harga BBM. Jika BBM naik, maka semua barang akan terpicu naik harganya. Karena semua sistem produksi, transportasi menggunakan BBM. Mobilitas barang dan jasa semuanya menggunakan BBM.
Daya beli konsumen akan tergempur dari 2 sisi. Pertama dari sisi alokasi pengeluaran rill transportasinya sendiri. Ini akan naik cukup signifikan. Belum naik saja, alokasi transportasi sudah menggerus 25-30% dari pendapatan, karena buruknya sistem transportasi publik kita. Nah sekarang jika BBM naik, apa masyarakat bisa memakai transportasi publik yang kapasitasnya masih memble itu? Mana MRT? Belum jadi kan?
Kedua, dari sisi kenaikan harga barang-barang yang lain. Memang harga pangan, sayur mayur, buah-buahan gak ikut naik? Kalau konsumen protes, yang jual bilang, neng emang bawa ke sininya pake doraemon? Kan pake BBM? Bahkan kebutuhan sekunder, tersier konsumen biasanya juga ikut naik. Mau benerin toilet, eh si abang bilang harga tukang sudah gak segini. Harga semen udah naik juga. Akhirnya jika sangat tidak mendesak, yang sekunder dan tersier bakal ditunda.
Kalau ditunda, stimulan ekonomi atau sebaran pendapatan dia yang tadinya bisa ke tukang atau barang lainnya, ya gak akan jalan. Ujungnya, semua pelaku usaha akan tertunduk lesu. Karena yang beli barangnya berkurang. Sementara pegawainya pada ikut-ikutan nuntut kenaikan gaji. Kan BBM naik bos, masa uang transportasi kagak naik? Ujungnya lagi? Pelaku usaha yang gak sanggup akan gulung tikar dengan sendirinya, pengangguran meningkat. Dan kemiskinan bertambah.
Jadi memang ada jalan panjang menuju kemiskinan, jika BBM naik. Yang penting bukan menafikan bahwa kenaikan BBM akan menimbulkan kemiskinan. Kenaikan BBM Rp 1000/liter dapat menciptakan inflasi 1,43% dan kemiskinan naik 0,61%, atau sekitar 1.525.000 juta orang (data rapat Komisi XI DPR dengan pemerintah SBY). Tentu asumsinya jika tidak ada pengendalian dampak sama sekali, akan terjadi seperti itu. Makanya kudu dicari jalan yang cepat, efisien agar dampak tidak terjadi atau berkurang secara signifikan.
Di antaranya secara makro ekonomi, pertumbuhan ekonomi dipicu oleh 3 hal. Yaitu konsumsi rakyat (domestik). Jadi jika daya beli menurun, konsumsi menurun, maka pertumbuhan ekonomi akan melambat. Termasuk dengan kenaikan BBM. Solusi jangka pendeknya ya kasih duit ke rakyat. Tingkatkan daya belinya. Khususnya kepada kelompok rentan. Jika dikatakan bahwa itu membuat rakyat seperti pengemis ya jangan dibikin antrian gitu. Salurkan saja oleh petugas ke rumah warganya yang berhak. Sekalian bisa verifikasi ulang. Bener gak dia pantes dapat.
Kemudian, pemerintah juga harus memastikan arus barang dan jasa tersedia cukup di pasaran. Diberi insentif berupa pasar-pasar murah, sehingga efek domino kenaikan harga bisa dikurangi.
Kedua dengan pengeluaran pemerintah. Jadi jika APBN sehat, impor dikurangi, infrastruktur dibangun, maka pengeluaran pemerintah ini akan memicu peningkatan pendapatan masyarakat. Memicu tumbuhnya kelompok usaha pemasok barang ke pemerintah dan sebagainya. Nilai ini sangat besar, bisa ribuan triliun rupiah. Tetapi jika nilai ini digunakan untuk impor, studi banding gak jelas ke luar negeri dan hal-hal lain yang tidak produktif, maka daya ungkitnya bagi stimulus pertumbuhan ekonomi tidak akan sebanding dengan kenaikan BBM.
Jadi, begitu BBM naik, langsung gelontorkan proyek infrastruktur atau apa pun yang menggunakan tenaga kerja massif (jadi inget Marshal plan ketika AS resesi). Rakyat dikasih upah (sehingga pendapatan meningkat, daya beli meningkat), sementara infrastrukturnya sendiri pun bisa sebagai stimulan ekonomi bagi daerah sekitarnya.