Setiap kali lampu merah menyala di persimpangan Jakarta (bukan jalan protokol), para pengemis akan datang menyerbu ke mobil-mobil yang sedang berhenti. Kadang, yang buat miris, banyak ibu-ibu yang mengemis sambil menggendong bayi. Bayi yang diterpa debu dan asap jalanan, kepanasan. Apa Komnas Anak pernah melihat hal ini ya?
Fenomena pengemis di kota besar memang dilema. Kadang, mereka adalah pengemis musiman, datang dari daerah karena di desanya sudah lewat musim tanam. Jadi, pada dasarnya sudah punya profesi sebagai petani, tetapi petani yang tidak punya lahan, sekedar buruh tani. Selesai menanam, dia mau kerja apa lagi? Sementara tuntutan hidup ya harus cari lagi untuk makan. Makanya datang ke kota, jadi pengemis. Atau menyerbu kota besar pada saat puasa, lebaran.
Ada lagi yang memang profesi utamanya mengemis. Kalau ini memang sudah terlanjur keenakan dapat uang lumayan dari mengemis, terus gak mau kerja yang lain lagi. Jadi ingat pengemis yang dari mengemis sudah memiliki beberapa mobil. Ya ampun. Mentalnya sudah terlanjur mental peminta, ingin dapat uang dengan jalan yang mudah. Kalau jadi pejabat, biasanya korupsi. Mentalnya sama.
Mental inilah yang sulit untuk diubah. Padahal kalau mau kerja keras, rezeki tetap bisa datang. Saya jadi ingat kisah pengemis di Bandung yang saya lihat di TV. Dia berhenti jadi pengemis, karena pernah dengar ceramah mengenai hadist bahwa tangan di atas itu lebih baik dari tangan di bawah. Dan bahwa Rasulullah SAW pernah mencium tangan seorang pekerja keras, yang menghitam gosong demi mencari nafkah halal bagi keluarganya yang miskin.
Kemudian si ibu ini kerja bebersih di suatu konsultan pengelolaan sampah. Dia cerita, ketika habis menyapu atau membersihkan ruangan, ndilalahnya tulisan mengenai pengelolaan sampah itu belum terhapus dari papan tulis. Itu dia serap, dia cerna, dia hapal. Kemudian, dia mulai melakukan pengolahan sampah, dengan mengutipin sampah ke tetangganya pakai sepeda. Sekarang si ibu ini sudah mempunyai sistem bahkan alat pengolahan sampah sederhana hingga menjadi kompos. Dari pengemis loh! Yang penting ada kemauan berubah, mesti jalannya ada.
Mengenai masalah pengemis di perkotaan, memang harus ada ketegasan dari pemerintah daerah dan pusat mengatasi masalah ini. Bukankah kita memiliki Kementrian Sosial dan Dinas Sosial? Kemudian bukankah lembaga charity, lembaga amal ZIS bertebaran dimana-mana? Lembaga ini ada yang donasinya mencapai Rp 20 M per bulan untuk wilayah Jakarta saja. Itu baru satu lembaga.
Perlu ada sinergis pengentasan pengemis ini, antara lembaga pemerintah pusat-daerah, lembaga charity, lembaga amal atau ZIS, termasuk kalau perlu melibatkan CSR perusahaan swasta. Jadi solusi untuk pengemis ini memang ada. Bukan ujug-ujug ditangkepin tanpa ada solusi.
Ketegasan mengatasi pengemis di perkotaan sangat penting. Mereka seharusnya dikumpulkan di lembaga tertentu, kemudian didata, dibina dan diberdayakan. Dan bagi pengemis musiman yang datang dari daerah, mereka bisa 'ditangkapi' untuk didata berasal darimana saja? Kemudian bekerjasama dengan instansi terkait di daerah asal mereka, bagaimana caranya agar mereka mendapat pekerjaan di luar 'jadwal bertanam'.
Salah satu contoh penanganan pengemis itu seperti yang dilakukan di Surabaya. Bu Risma sendiri bilang, dia tega menangkap pengemis di jalan. Kemudian pengemis itu dilatih ketrampilan apa saja yang mereka mau. Dan bahkan kalau mau usaha, kelengkapan usahanya juga ikut difasilitasi oleh Pemkot Surabaya. Pantesan ketika saya juga ke Surabaya, memang pengemis sudah tidak tampak lagi di jalanan.
Semoga, perubahan pola pikir untuk bekerja keras dan fasilitasi untuk wirausaha atau bekerja menjadi solusi terbaik bagi pengemis. Ini dilakukan berbarengan dengan tindakan tegas di jalanan oleh otoritas terkait.
Ya sudah gitu saja. Salam Kompasiana!