[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption] Ketika saya di Geneva awal Mei lalu, teman yang bekerja untuk UN atau PBB memang sudah bilang kalau sekarang alokasi anggaran untuk mereka sudah ketar-ketir. Bukan saja mereka tidak ada anggaran lagi untuk tunjangan kinerja (padahal kerja sering hingga malam jika akan menyiapkan kertas posisi), tetapi sudah ada 'peringatan' kalau bahkan gaji beberapa bulan ke depan saja akan ditunda. Ternyata ini bukan hanya untuk Kementerian Luar Negeri (dia di bawah Kemenlu), tetapi beberapa hari ini terdapat surat edaran dari Presiden untuk memotong bermacam-macam anggaran kegiatan karena defisit APBN 2014 kian membengkak. Di antaranya memotong anggaran untuk program di Kementerian Pekerjaan Umum sebesar Rp 22 T. Padahal Kemen PU adalah ujung tombak percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Kemen PU menyatakan mereka hanya sanggup memangkas Rp 10,2 T, dan itu ternyata pemangkasan pembangunan infrastruktur di pedesaaan. Target pemotongan anggaran akan dilakukan terhadap pos kementerian/lembaga dengan nilai total Rp 100 T. Defisit APBN memang melebihi target pemerintah sebesar 1,69% dari PDB (Product Domestic Bruto), akan menjadi lebih dari 3%. Padahal batas aman defisit sesuai dengan UU Keuangan Negara tahun 2003 pasal 12 ayat 3, maksimal defisit hanya boleh 3%. Defisit APBN tersebut terjadi karena impor Bahan Bakar Minyak (BBM) membengkak, sementara kurs rupiah melemah. Akibatnya, beban subsidi BBM dan listrik membengkak Rp 110 triliun, dari sekitar Rp 282 T menjadi Rp 392 T. Untuk mengatasi hal tersebut, tentu saja hanya memakai pola ini: 1. Meningkatkan pendapatan APBN, baik melalui pajak, devisa, ekspor. Sayang, potensi pajak mobil dihapus pemerintah dengan program mobil murah (LCGC, low cost green car)....:D. Dan sekarang mobil LCGC yang dijual sangat laku di pasaran, bahkan hingga inden beberapa bulan, tetapi pemasukan berupa pajaknya tidak ada. LCGC ini juga minum subsidi BBM, sehingga kebijakan ini sungguh blunder bagi pemerintah. Sudahlah pajak tidak dapat, malah kuota BBM subsidi membengkak karena antusias masyarakat membeli mobil ini juga sangat tinggi. 2. Mengetatkan alokasi anggaran dengan pemangkasan alokasi anggaran kementerian. Syukurnya pemilihan presiden hanya 1 putaran, sehingga ada penghematan penyelenggaraan pemilu sebesar Rp 3,2 triliun 3. Pengelolaan subsidi BBM & listrik. Ini mesti akan menjadi simalakama bagi presiden baru, karena mosok baru jadi presiden sudah ujuk-ujuk menaikkan harga BBM dan listrik, jika ini menjadi pilihan instan. Tetapi bisa juga memakai berbagai macam skema yang sudah dibuat pemerintah, tetapi masih jadi wacana, seperti: tidak memakai BBM subsidi di kala libur, SPBU subsidi waktunya dibatasi, memakai alat untuk mengontrol pemakaian BBM subsidi (sudah dihimbau memakai RFID program ESDM, yang katanya malah buang-buang anggaran karena tidak efektif atau kepastian pelaksanaan belum ada). Mengenai efektivitas pengelolaan APBN sendiri juga seharusnya dikritisi. Misalnya hingga kini APBN belum menggunakan e-budgeting dan e-procurement. Sehingga transparansi anggarannya juga masih lemah. Sistemnya masih ribet banget, kaku, dan peluang korupsinya juga besar sekali. Ya sudah gitu aja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H