Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Belajar kepada Masdar City (UAE) sebagai Kota Bertenaga Surya?

6 April 2015   10:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:29 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_408014" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - Gedung yang memanfaatkan material dan teknologi berbasis tenaga surya terintegrasi (building integrated photovoltaic/BIPV) cenderung dapat menggantikan utilitas konvensional. (kompas.com/tqn.com)"][/caption]

Hari ini saya dapat kiriman WA dari ipar di Abu Dabi soal kesempatan mendapatkan beasiswa penuh di Masdar Institute of Science and Technology (MIST), Abu Dabi (Uni Emirate Arab) bagi 10 orang terbaik dari Indonesia. Siapa yang berminat bisa mengirim email ke: kbriabd@indonesianembassy.ae atau indoemb@emirates.net.ae. Pendaftaran ditutup 31 Mei 2015.

Bidangnya semuanya terkait engineering, mulai dari computing, electrical power, chemical, water and environmenatal engineering, sustainable critical infrastructure, mechanical engineering. MIST bekerja sama dengan MIT (Massachusetts Institute of Technology), jadi lulusan MIST akan menerima sertifikat MIT yang menyatakan kesetaraan akademik antara MIST dengan MIT.

Nah, kampus MIST ini terletak di Masdar City, Abu Dabi (UAE) sebuah kota kecil yang berambisi menerapkan energi surya sebagai sumber energinya. Selain itu kota ini juga berprinsip 'zero karbon', tanpa emisi karbon, car free city, atau kota tanpa mobil (ber-BBM). Jadi, walaupun negara ini berkelimpahan minyak bumi, tetapi pemimpinnya mempunyai pandangan ke depan mengenai energi alternatif yang bisa dipakai menggantikan energi minyak bumi.

Untuk memenuhi standard sebagai kota yang berkelanjutan, ramah lingkungan, tanpa polusi, Masdar City dibangun dengan desain gedung-gedung yang saling berdekatan. Itu untuk membuat bayangan peneduh dari sengatan sinar mentari yang ganas di daerah gurun. Jadi pedestriannya teduh, enak dipake pejalan kaki. Kalau capek jalan? Sudah ada mobil listrik yang canggih, gak perlu disetirin tetapi jalan sendiri. Mobil, pendingin ruang, cahaya lampu, semuanya memakai tenaga surya.

Gedung-gedung yang dibangun juga didesain sehingga mengurangi kebutuhan AC hingga 55%. Lampu-lampu memakai sensor, jadi kalau gak dibutuhkan akan mati sendiri. Ini mengurangi konsumsi listrik sebesar 51%. Sistem sensor pada pemakaian air juga mengurangi konsumsi air hingga 55%.

Dan untuk menggerakkan kebutuhan kota itu semua, Masdar City tidak menggunakan energi minyak bumi sama sekali. Tetapi menggunakan energi matahari melalui sekitar 87 ribu panel tenaga surya di lahan seluas 22 ha di area gurun sekitarnya.

[caption id="" align="aligncenter" width="260" caption="Mobil dengan sensor & bertenaga listrik dari Matahari di Masdar City Foto: Muassis"]

1428291918801441226
1428291918801441226
[/caption]

Tetapi apakah itu realistis dan 'low cost'? Kalau dari segi sumber energi surya, jelas berlimpah ruah. Namanya negeri gurun, gitu loh. Hanya apakah sistem yang diterapkan jadinya membuat sebuah kota berbiaya mahal ataukah bisa digunakan/dihuni oleh semua orang dengan biaya hidup yang tidak 'ekslusif'? Inilah kritik yang dialamatkan terhadap proyek ambisius ini. Dimulai tahun 2009 dan ditargetkan selesai tahun 2025, biaya yang akan dikeluarkan hingga 12 milyar pound sterling atau sekitar Rp 240 triliun.

Sekarang ini, karena masalah politik dan juga harga minyak yang terlalu rendah di pasar dunia (sehingga pendapatan UAE agak turun kali), pembangunannya agak tersendat. Kota ini masih sepi, karena belum merupakan kota dengan segala kebutuhan hidup ada di sekitarnya. Misalnya, akses pasar beli kebutuhan pokok, akses pendidikan anak-anak, kesehatan dan seterusnya. Ada juga satu dua jualan pangan organik tetapi harganya selangit. Kalau saja diuji coba bikin pertanian organik, menanam dengan hidroponik atau ramah lingkungan dengan kecanggihan teknologi, atau impor dari Indonesia, bisa jadi harganya lebih murah.

Kemudian,  kalau mau low cost, mungkin bisa saja konsultannya tidak harus dari Eropa atau AS yang berbiaya sangat mahal, tetapi bisa juga dari Indonesia yang ahlinya banyak dan pinter-pinter banget, tetapi di dalam negerinya kurang kepake, hehee. Maklum, kalau soal tenaga surya, la wong ada pesantren yang pake tenaga surya tidak berbiaya mahal kok.

Ya sudah, gitu saja. Salam Kompasiana!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun