Tadi siang saya melihat TV One mewawancarai Dirut PT. Semen Indonesia, mengenai kondisi bisnis persemenan di Indonesia. Beberapa hal yang menjadi catatan adalah, over produksi semen yang luar biasa tingginya di tahun lalu. Produksi semen di Indonesia sudah mencapai 90 juta ton, sementara kebutuhan hanya 60 juta ton. Bukan itu saja, hampir semua pabrik semen merugi karena permintaan yang menurun sebesar 30%, hanya PT. Semen Indonesia yang mampu meraih untung sebesar 1,4% (kecil banget juga).Â
Menurut pemaparan Dirut PT. Semen Indonesia, sudah 2 tahun permintaan lesu (2015-2016). Ehmm, padahal bukankah Jokowi sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur yang mesti 'makan' semen yak? Dan ditengah kelebihan suplai yang sangat luar biasa ini (30 juta ton), pemerintahpun masih gencar membangun pabrik semen dimana-mana. Pada tahun 2017 ini, ada sekitar 10 pemain  baru yang  masuk ke bisnis semen. Diantaranya, beberapa dari Tiongkok yang akan membangun pabrik semen di Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Papua Barat.Â
Sekarang, bukan hanya kelebihan produksi, pembangunan semen yang amat gencar ini juga diprotes oleh para petani. Keliru, kalau mengatakan bahwa protes hanya ditujukan pada semen nasional alias BUMN. Sejarah panjang penolakan semen oleh para petani sudah dilakukan bahkan kepada siapapun yang hendak masuk ke wilayah mereka untuk mendirikan pabrik semen. Hanya, siapa yang mendengar kala itu? Sudah menggugat ke pengadilan, melakukan demo, membangun tenda perjuangan (yang dibakar), longmarch ratusan kilo, siapa yang peduli? Hingga berminggu-minggu melakukan penyemenan kaki, mereka tak bisa kompromi. Pembatalan pabrik semen adalah harga mati.Â
Belajar dari China soal Dampak Pabrik Semen
Sesungguhnya, bukan hanya soal sumber mata air dan kehijauan pepohonan yang hilang ketika sebuah pabrik semen dibangun. Bahkan kalau memikir Jawa yang sudah padat penduduk dan tanahnya sangat subur ternyata menjadi incaran parah para pemain semen dan untuk pertambangan lainnya. Saya pernah lihat peta Jawa Tengah oleh ESDM, ternyata 'warnanya' seperti bakalan mau dibikin area pertambangan nyaris semua wilayah! Jawa itu lumbung padi, malah katanya Jateng itu 'perutnya' pulau Jawa. Kalau Jokowi punya nawacita 'kedaulatan pangan', apa caranya dengan bikin pabrik semen?
Selain itu, dampak pencemaran pabrik semen juga mesti diantisipasi secara serius. Karena pabrik semen pasti mengeluarkan partikulat halus dari cerobong asapnya. Walaupun dengan teknologi secanggih apapun, itu hanya mengurangi jumlah partikulat sebesar 20%, tetapi tidak mampu membersihkan keseluruhan. Â
Soal dampak pabrik semen ini, mungkin kita bisa belajar dari China. Pada bulan Desember 2016 lalu, 22 kota di China (termasuk Beijing, ibukota negara) terkena kabut asap polusi beracun  yang pekat.  Untuk mengurangi polusi ini, pemerintah China memerintahkan agar pabrik-pabrik penyebab polusi ditutup atau mengurangi produksinya. Diantara pabrik penyebab polusi  adalah pabrik batu bara dan semen (jadi ingat Kalimantan, batubara dan semen berpadu sekarang). Â
Di China biaya dampak kesehatan dan lingkungan keberadaan pabrik semen sudah mencapai US$ 31,5 billion (sekitar Rp 400-an Trilyun) pertahun!  Sekitar 80% merupakan dampak kesehatan akibat polusi udara oleh pabrik semen ini.  Dan yang parahnya lagi, pemerintah China 'nakal', karena mereka memindahkan pabriknya ke negara yang lemah hukum lingkungannya, seperti Tajikistan. Apa Indonesia juga menjadi 'buangan' pabrik semen pollutif dari China? Siapa yang mengawasi Amdalnya?Â
Semoga pemerintah benar-benar serius menggarap Amdalnya. Bukan Amdal abal-abal demi kepentingan korporasi. Karena 'harga' yang hilang demi sebuah pabrik semen sangat mahal. Sungguh tiada ternilai. Dan kepada para petani Kendeng. Aku padamu.....Terima kasih telah berjuang tiada henti demi bumi yang lestari.....
Ya sudah gitu aja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H