Memang aneh negara Indonesia ini. Sudah anggaran tidak seberapa, pengalokasiannya juga patut dipertanyakan prioritasnya. Untuk hal-hal yang mendasar saja, masih kurang. Mulai dari kebutuhan pangan, infrastruktur yang membuka isolasi pedesaan, transportasi umum, pembenahan sistem pertanian, pendidikan, kesehatan, mesti membutuhkan biaya yang sangat besar.
Bahkan sumber energi listrik pun negara ini masih keteter. Karena masih ada sekitar 30% penduduk Indonesia yang belum dialiri oleh listrik.
Tetapi alih-alih kepada kebutuhan dasar masyarakat, prioritas tertinggi alokasi anggaran ternyata dianggap bukan untuk kebutuhan primer masyarakat. Misalnya soal alokasi anggaran untuk Kementrian Agama, meningkat gila-gilaan dibandingkan tahun lalu.
Alokasi anggaran Kementrian Agama di APBN 2014 merupakan tertinggi ke-lima setelah Kementrian Pertahanan (Rp 83, 5 Trilyun), Kementrian Pekerjaan Umum (Rp 83,3 Trilyun), Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Rp 79,7 Trilyun), Kepolisian (Rp 47,1 Trilyun). Alokasi untuk Kementrian Agama mencapai Rp 45,4 Trilyun. Ini jauh lebih tinggi dari alokasi anggaran untuk Kementrian Pertanian, misalnya, yang 'hanya' sebesar Rp 16,4 Trilyun). Sumber: The Jakarta Post yang mengutip dari FITRA
Padahal Kementrian Agama, berdasarkan indeks integritas yang dibuat oleh KPK, termasuk kementrian yang terkorup (2011). Sementara untuk tahun ini, KPK juga menyebutkan bahwa Kementrian (secara umum) adalah lembaga yang terkorup dibandingkan lembaga-lembaga lain.
Tentu kita juga masih ingat dengan korupsi penyediaan Al Quran. Begitu juga dengan pengelolaan haji, dimana disinyalir biaya haji Indonesia masih termasuk yang termahal, dengan jumlah jamaah sebanyak ini (kuota terbesar se-dunia).
Apakah peningkatan alokasi ini terkait dengan banyaknya isu SARA di Indonesia? Apakah ada alokasi untuk mempromosikan harmonisasi, kerjasama antar umat beragama?
Tampaknya tidak. Ternyata alokasi yang besar digunakan untuk perbaikan 15 fasilitas haji di Arab Saudi, merekrut 1500 petugas untuk Komite Manajemen Haji dan beasiswa. Bagaimana mengontrolnya?
Sekali lagi, ini juga aneh. Karena biaya haji Indonesia mesti juga sudah meng-cover manajemen seperti itu. Paling tidak pengelolaan dana haji yang sudah disetor 3-4 tahun sebelum keberangkatan (untuk tahu dapat kursi atau tidak, minimal setor Rp 25 juta, dan keberangkatan di beberapa kota besar di Indonesia, waiting listnya bisa sampai belasan tahun!).
Dan yang parahnya, ternyata alokasi terbesar anggaran itu adalah untuk gaji (Rp 22,5 Trilyun), yang kedua untuk belanja barang (yang sangat rawanh korupsi) sebesar Rp 10,6 Trilyun, dan Rp 11, 5 Trilyun untuk bantuan sosial. Bantuan sosial seperti apa?
Yang penting diketahui, seharusnya Kementrian Agama tidak perlu menyerap alokasi anggaran sebesar ini. Lembaga-lembaga bantuan sosial berlatar agama, seperti lembaga zakat sudah begitu banyak bertebaran di Indonesia. Seharusnya tugas Kementrian Agama mensinergiskan lembaga semacam ini, mengaudit dan membuat lembaga-lembaga charity ini punya daya dukung yang tajam bagi penyelesaian masalah sosial di Indonesia.