Duka di Sulsel kali ini. Banjir parrah melanda 9 kabupaten/kota, termasuk Makasar dan menyebabkan 23 orang wafat, 48 hilang dan 5000 orang mengungsi.
Yang paling terdampak adalah Gowa, selain banjir juga diterjang longsor. Dan hingga kini proses pencarian dan.evakuasi sedang dilakukan.Â
Sumber banjir berasal dari terjangan air bah sungai Jenebarang, yang debitnya meningkat cepat akibat limpasan dari sungai Jenelata ditambah air dari bendungan Bili Bili. Bendungan ini status siaga karena muka air sangat tinggi, dan pintu air terpaksa dibuka agar bendungan tidak jebol.Â
Padahal salah satu fungsi bendungan adalah untuk pengendali banjir. Tetapi kali ini justru jadi penyebab banjir. Mengapa?
Ada beberapa faktor lingkungan mengapa begitu massif air menerjang:
1. Kapasitas bendungan yang kian menurun dalam menampung air akibat proses sedimentasi.Â
Sungai Jenelata berasal dari gunung Bawakaraeng. Pada tahun 2004, gunung ini longsor parah yang menyebabkan material longsoran masuk ke bendungan melalui sungai. Hingga kini proses sedimentasi masih terus berlanjut dan kian mendangkalkan bendungan.Â
2. Hutan di gunung Bawakaraeng, gunung sumber utama ketersediaan air di 7 wilayah di Sulsel, kini semakin terbuka. Salah satunya akibat kebakaran, perkebunan, dan pendakian massif. Para pendaki juga banyak meninggalkan sampah disini. Akibatnya kemampuannya menyimpan air semakin menurun. Ini yang menyebabkan debit sungai Jenelata dan Jenebarang juga meningkat cepat.
3. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai  (DAS) yang tidak ramah lingkungan, seperti adanya tambang batu dan pasir, yang menyebabkan pendangkalan sungai.Â
4. Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang semakin minim. Banyak proyek perumahan, infrastruktur, yang berada di lahan resapan air.Â
5. Tekanan terhadap kawasan karst di kabupaten Maros, Pangkep untuk usaha pertambangan batu gamping dan produksi semen. Padahal kawasan karst merupakan penyimpan air Alami