Sesungguhnya Infrastruktur memang sangat penting dibangun untuk pemerataan pembangunan, konektivitas, dan memudahkan mobilitas manusia untuk penyediaan/pelayanan barang dan jasa.Â
Tetapi menjadi kontra produktif jika Infrastruktur dibangun tidak sesuai kebutuhan, tanpa kajian Amdal, dan malah merugikan produktivitas manusia.
Dan tampaknya Jokowi yang mengejar pembangunan infrastruktur begitu terburu buru membangun. Sampai dipertanyakan kapan kajian Amdalnya? Apakah sudah masuk rancangan Tata Ruang Tata Wilayah? Karena MRT, LRT, kereta cepat sudah mulai dibangun sebelum masuk RT RW?
Karena terburu buru itu, ada 5 paradoks pembangunan infrastruktur era Jokowi;
1. Jokowi menyebutkan pembangunan infrastruktur untuk pemerataan pembangunan. Kenyataannya, pembangunan tetap 'numpuk' di Jakarta, sementara di daerah lain/pulau lain tak seberapa.Â
Bayangkan di Jakarta sekarang sedang ada pembangunan LRT, MRT, 6 ruas tol Dalam kota, serta tol layang Jakarta Cikampek. Duh, padahal pembangunan 6 ruas tol Dalam kota Jakarta sudah ditolak rame rame sejak Foke karena karpet merah bagi mobil pribadi, tetapi tetap dibangun era Jokowi karena masuk dalam stratetegi national?
2. Paradoks kedua adalah gencarnya pembangunan infrastruktur malah membuat 37 ribu kontraktor bankrupt, karena diborong oleh BUMN semua?
Ini dikritik keras oleh Bank Dunia dan tentu saja asosiasi pengusaha kontraktor Indonesia. BUMN bisa memborong semua pekerjaan infrastruktur karena keuangannya disuntik mulu oleh modal pemerintah, sehingga bisa melakukan pinjaman jor jor-an? Dan utang BUMN ini juga dapat penjaminan dari pemerintah?
3. Beberapa infrastruktur yang dibangun tidak berfungsi? Seperti kereta bandara Soetta yang mewah tetapi relnya mengokupasi rel KRL, sementara keretanya kosong nyaris tak ada penggunanya? Kemudjan bandara Kertajati yang megah tetapi sepi seperti kuburan karena nyaris tak ada penerbangan? Beberapa pelabuhan juga tak berfungsi karena tidak.sesuai kebutuhan nelayan?
Begitu juga dengan jalan tol yang dibangun, seperti Becakayu yang amat sepi, karena tarifnya relatif mahal dan tidak terjangkau.
4. Dampak pembangunan infrastruktur trans jawa justru mematikan ekonomi kota kota Pantura? Penurunan omzet hotel, toko oleh oleh, sentra batik, warung makan hingga SPBU mencapai lebih dari 50%?