Pada bulan Februari 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan utang pemerintah yang telah tembus Rp 4034,8 Triliun. Beban hutang ini naik 13,46% dari periode yang sama tahun lalu.
Utang pemerintah itu mencapai 29,5% dari PDB. Sementara UU no.17/2013 tentang keuangan negara mentolerir hingga 60% dari PDB. Walau angka 60% ini terlalu riskan, karena itu batas untuk negara negara maju.
Itu utang pemerintah. Bagaimana dengan hutang BUMN? Data BI menyebutkan bahwa total utang BUMN juga sudah mencapai Rp 4.091,71 Triliun. Penjaminan pemerintah terhadap utang BUMN dituangkan dalam Peraturan Presiden no.82/2015.Â
Jadi kalau dihitung total utang pemerintah dan utang BUMN, menurut Bhima Yudistira (ekonom Indef) bisa jadi sudah mencapai sekitar 63,8% PDB.
Salah satu BUMN yang parah utangnya adalah PLN, Â utangnya sudah mencapai Rp 299 T, dan terancam gagal bayar. Laporan keuangan kuartal 1 2018, PLN mencatat kerugian Rp 6,49 Triliun. Tahun 2018 ini, PLN rencananya akan mencari utang lagi Rp 60 Triliun.Â
Sementara itu, BUMN infrastruktur juga dibebani utang tinggi dan mengalami masalah cashflow yang parah. Seperti Waskita, total utang Rp 63,5 Triliun. Ini belum lagi hutang terhadap pihak ketiga subkontraktor yang mencapai Rp 10 Triliun.
Sedangkan utang WIKA mencapai Rp 31,05 Triliun, Adhi Karya mencapai Rp 53,9 Triliun. Sementara Jasa Marga hutangnya sekitar Rp 31 Triliun. Utang BUMN konstruksi ini naik hingga mencapai 670% sejak tahun 2013. Parahnya lagi, beberapa BUMN konstruksi itu juga arus kasnya macet, defisit hingga triliunan rupiah karena antara dana kas yang masuk dari pelanggan jauh lebih kecil daripada dana yang harus dibayarkan pada pihak ketiga suplier kontraktornya.
Kemudian PT. KAI, perusahaan yang amat sehat dan untung dari jumlah penumpang yang meningkat signifikan juga ketiban utang terbesar sepanjang sejarah berdirinya perusahaan ini. Tanggal 29 Desember 2017 PT.KAI menandatangani perjanjian 3 pihak dan mendapatkan utang Rp 18.1 Triliun untuk kredit investasi dan Rp 1,15 Triliun untuk kredit modal kerja. Ini untuk pembangunan LRT, dan pinjaman berlaku selama 18 tahun.
Yah namanya utang kan kudu mulai dicicil sejak uang dikeluarkan. Padahal produk belum dihasilkan. Apalagi PT.KAI juga membuat kereta bandara dengan konsep mewah tetapi ternyata okupansinya hanya sekitar 10-20%? Tentu biaya operasional kereta bandara ini juga jadi beban PT.KAI. Yang diharapkan, jangan sampai beban utang dan biaya operasional produk 'idle/kurang terpakai' mengganggu pelayanan KRL, moda transportasi publik andalan jutaan orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H