Kementerian Perdagangan kembali membuka kran impor gula mentah sebesar 1,1 juta ton. Angka yang luar biasa besar, dan tahap pertama ijin telah diberikan untuk 635.000 ton.
Angka 1,1 juta ton ini tidakkah terlalu besar? Sebagai catatan, data produksi nasional diperkirakan 2,2 juta ton. Sementara konsumsi gula nasional diperkirakan 2,9 juta ton. Bukankah berarti selisihnya 0,7 juta ton yang dibutuhkan untuk impor?Â
Soal data memang hal yang krusial ketika memutuskan impor. Seringkali data yang berbeda disajikan antara Kementerian Perdagangan dengan kementerian Pertanian.Â
Mungkin kita masih ingat ketika panen raya bulan Januari 2018 Mentan Amran Sulaiman menyatakan stock beras cukup, tetapi kemendag malah impor beras. Betapa ironinya impor disaat panen raya. Kasihan nasib petani.
Di era Mendag Enggar bukan hanya soal data yang bermasalah, tetapi impor yang dilakukan menabrak tata kelola impor yang ada.Â
BPK mencatat, ada 9 temuan terkait tata kelola impor ini. Temuan itu (saya ringkas) yaitu data yang tidak memadai soal angka produksi dan kebutuhan impor, kemudian ijin yang dikeluarkan tidak memenuhi syarat dokumen, melampaui batas berlaku dan bernomer ganda.Â
Tidak lengkapnya persyaratan dokumen ini berlaku bukan hanya pada impor beras, tetapi juga pada sapi, gula, dan garam.
Kemudian keputusan impor kemendag juga ternyata tidak melalui rapat koordinasi kementerian. Jiahh, pantesan gak sinkron. Menteri pada jalan sendiri sendiri.
Nah yang paling parah juga diantara temuan itu adalah bahwa Kemendag sebagai pihak yang mengeluarkan ijin impor tidak memiliki instrumen untuk memantau antara ijin dengan realisasi.Â
Ya ampun. Jadi kalau ijinnya 1000, mau yang datang sejuta Mendag juga gak tahu? Ini yang disebut dengan 'permainan impor', yang bisa jadi datanya bisa jauh lebih besar?
Dan sekarang untuk impor gula mentah ini. apakah juga sudah melalui kajian yang mendalam soal kebutuhan impornya? Melibatkan asosiasi petani tebu dan industri gula nasional?