Entah kenapa kok jadi inget pengalaman Haji yak. Pengaruh hebohnya kedatangan Raja Salman kali, hehe. Inget ketika di Mekkah, suatu malam kami ke apotek di seberang maktab (apartemen) Indonesia. Tiba-tiba datang seorang Ibu bertampang Arab banget, dan kelihatan panik. Tak kirain dia orang Arab lokal sini. Ternyata pas dengerin dia omong, ampun dah, bahasa dan logatnya Jawa medok banget.Â
Ternyata dia gak bisa bahasa Arab sama sekali, dan katanya dia jamaah haji Indonesia  asal Solo. Aku rada bengong, terus bilang, lah tak kirain Ibu orang Arab. Emang katanya,  masih ada turunan Arabnya. Akhirnya malah suamiku yang bantuin dia komunikasi dengan petugas apotiknya untuk beli obat ini itu.Â
Selain si ibu ini, aku juga nemuin seorang perempuan muda cantik bertampang Arab penjaga kasir di kantin maktab  Indonesia di Mekkah. Ini juga tak kirain asli orang Arab Mekkah. Ternyata dia bahasanya juga medok Jawa, dan lagi-lagi berasal dari Solo. Dia bisa bahasa Arab, karena sudah lama keluarganya pindah dari Solo ke Saudi untuk usaha kantin ini.Â
Tetapi katanya ortunya masih suka pakai bahasa Jawa di rumah, sehingga dia masih bisa bahasa Jawa. Mereka  buka usaha di Mekkah dengan bantuan saudaranya yang masih tinggal di Saudi. Mungkin kalau bukan asli warga Saudi, ribet kali urusan perijinannya.  "Tetapi ada kali tiap 3 bulan kami pulang kampung ke Solo', katanya. Haa, pulang kampung? Bukannya kampung leluhurnya disini? "Ya enggak, kampung kami di Solo", tegasnya. Yoi, iya deh, hehee.Â
Apa yang membuat saya terkesan yak. Mungkin pembauran itu. Walaupun kita berprinsip kebhinekaan adalah keniscayaan untuk berbeda, tetapi saya selalu sangat menghargai ketika kita datang di suatu tempat, kita mengikuti kearifan lokal tempat yang kita datangi. Mengerti bahasa, budaya dan menjunjung tinggi untuk menghargai yang berbeda.Â
Bahkan ketika Islam datang ke Indonesia, pembauran itu adalah salah satu jalan untuk begitu cepatnya tersebar agama ini. Ulama Arab datang ke kampung Jawa, menikahi perempuan lokalnya dan mendirikan pesantren. Itu berbaur yang paling ekstrim, tetapi efektif, melalui pernikahan. Walau orang bilang, lah, jodoh kan di tangan Tuhan, hehe. Jadi inget teman hajian kami juga, yang kakek neneknya turunan China, Arab dan Betawi.Â
Tetapi banyak juga yang ekslusif. Tinggal di tempat ekslusif, hanya etnisnya saja. Yah gak apa-apa juga. Yang penting saling menghargai. Tidak menganggap kelompoknya lebih tinggi dari kelompok yang lain.
Ya sudah gitu aja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H