Seumur-umur emang baru kali ini DKI Jakarta memiliki calon pemimpin wakil gubernur seorang perempuan. Padahal, namanya ibu kota yak, bukan bapak kota, hehee. Ibu Kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Kehidupan begitu keras di sini. Walaupun juga begitu gemerlap dengan pembangunan yang melaju kencang. Jomplang dengan daerah lain. Sejak era Soeharto, perputaran uang rakyat Indonesia 80%-nya ada di Jakarta. Tidak heran rakyat Indonesia yang begitu miskin di daerah lain berbondong-bondong datang ke sini. Para lulusan perguruan tinggi daerah lain pun nyari kerjanya di sini. Sussah cyn, cari kerja di daerah sendiri.
Makanya, permasalahan Jakarta juga kompleks banget. Masalah sosial, ekonomi, lingkungan, akan terus tumpang tindih. Kemarin lihat iklan acara Aiman Kompas TV (sayang gak sempat nonton utuh) bagaimana kehidupan manusia yang tinggal di saluran-saluran di Jakarta (bukan bantaran kali). Sudah 10 tahun loh, hidup di situ. Bagaimana bisa tahan? Yah karena mereka tidak ada pilihan. Jakarta menawarkan sumber nafkah untuk sekedar hidup dibandingkan daerahnya.Â
Masalah lingkungan juga. Bantaran kali dibersihkan, tetapi apa dampak pembangunan tower yang luar biasa banyaknya sekarang ini di Jakarta? Siapa bilang mereka tidak menyedot air tanah? Sungai Mokevart Daan Mogot bisa bersih dengan penggusuran, tetapi di Daan Mogot juga perusahaan raksasa properti Tiongkok menginvestasikan uangnya hingga Rp 13,5 triliun untuk sebuah Superblock 30 tower seluas 15 ha (ternyata masih ada lahan kosong seluas 15 ha di Jakarta?) bernama Dan Mogot City di Jakarta Barat.
Kalau 1 tower berisi 1.000 unit (seperti Kalibata City), berarti ada 30.000 orang yang diperkirakan akan menghuni. Itu dengan asumsi yang tinggal bukan keluarga, tetapi single. Lah, dari mana akses air bersih? Ke mana membuang limbahnya, sampah, dan seterusnya? Amdalnya juga tidak terbuka ke publik. Pembetonan masif ini tidakkah juga akan berdampak pada banjir di Jakarta, karena air tidak punya tempat serapan?
Jadi, masalah Jakarta sangat kompleks. Diperlukan seseorang yang sangat smart, yang punya pikiran komprehensif, bukan parsial, emosional, dan impulsif untuk membereskannya. Bukan hanya smart, tetapi dalam penyusunan rancangan tata ruang benar-benar mau melibatkan partisipasi warga, utamanya para ahli tata ruang, ahli lingkungan, hingga ahli sosiologi. Jakarta bukan milik segolongan orang, tetapi milik semua warga Jakarta.
Eh ini belum ke judulnya yak, hehe. Nah, kompleksitas masalah Jakarta ini juga mirip dengan Surabaya sebenarnya. Di tangan seorang perempuan, Tri Rismaharini, Surabaya semakin kinclong. Dia merangkul semua pihak. Ngemong berbagai kalangan. Tetapi juga sangat strategis langkah-langkahnya untuk mengatasi permasalahan Surabaya, dengan lugas, tegas, dan smart.Â
Apakah Syilviana Murni bisa seperti itu? Walaupun sebagai cawagub, tentu kalau terpilih ada otoritas yang akan diembannya, sesuai ppembagian tugas yang disepakati. Kalau saya lihat, ada potensi SM sebagai Next Risma, karena 4 hal ini.Â
1. SM dan Risma sama-sama berkarier dari bawah sebagai birokrat pemda. Jadi, mereka berdua murni malang melintang dari dunia birokrat hingga maju sebagai pemimpin daerah. Sebagai PNS yang berkarier dari bawah, mereka sudah menunjukkan prestasi ketika mengemban berbagai tugas di birokrasi. Dan yang paling penting, mestinya mereka menguasai secara 'ngelotok' permasalahan daerahnya masing-masing.Â
2. Karakter Risma dan Syilviana juga bisa dikatakan hampir mirip. Satu wong Surabaya yang lugas dan ceplas-ceplos, satu lagi orang Betawi yang juga terkenal cablak, egaliter, dan suka terus terang.Â
3. Dua-duanya sama-sama perempuan sehingga intuitif keperempuannya bisa keluar, salah satunya sisi humanis sebagai seorang ibu dan kemampuan untuk meng-handle masalah secara komprehensif.Â
4. Background pendidikan keduanya juga sama-sama mumpuni, bahkan Syilviana Murni sudah bergelar profesor.Â