Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dulu Mendukung Ahok, Sekarang Menolak Ahok

5 September 2016   08:22 Diperbarui: 5 September 2016   08:32 6461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari suatu talkshow di Kompas TV, seorang aktivis Ecosoc, Sri Palupi menyebutkan bahwa dulu dia mendukung Ahok. Dukungan itu bukan sekedar main-main, tetapi terus meyakinkan lawan debatnya, termasuk dengan membuat tulisan-tulisan yang mendukung Ahok. Tetapi kenapa sekarang menolak Ahok? Ini terkait dengan tanda tangan yang dibuat 38 aktivis dari berbagai latar belakang (ecosoc/HAM, lingkungan, ahli sejarah) untuk menolak Ahok sebagai Gubernur Jakarta lagi. 

Latar belakang Sri Palupi yang merupakan peneliti Ecosoc ini menolak Ahok memang terkait dengan penggusuran-penggusuran paksa yang dilakukan oleh Ahok. Penggusuran paksa termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat berdasarkan ratifikasi kenvensi PBB tentang Hak Asasi Manusia. Dan Sri Palupi menolak berat jika disebutkan penggusuran paksa yang dilakukan oleh Ahok sebagai relokasi. 

Karena berdasarkan data kajian yang dibuat oleh LBH Jakarta, ternyata memang penggusuran pada masa Ahok meningkat tajam. Tahun 2015 sebanyak 115 titik digusur paksa, tanpa dialog, tanpa kerahiman, tanpa solusi yang jelas. Jumlah yang digusur mencapai 8.145 KK dan 6.283 unit usaha. Hanya 37% yang mendapatkan solusi relokasi di rusun, sementara 63% terlantar entah kemana.  Sedikit yang direlokasi inilah yang dihighlight oleh media mainstream pendukung Ahok. 

Yang sedikit di relokasi itupun ternyata masalahnya banyak sekali. Termasuk ketidak mampuan warga untuk membayar uang sewa, tidak dapat sumber nafkah lagi, anak-anak tidak bisa bersekolah (karena akses KJP susah), dan seterusnya. Itu belum termasuk kualitas rusun yang parah, seperti akses air bersih terbatas, WC mampet, dan keamanannya tidak standar. Dua hari lalu, seorang balita 3 tahun tewas jatuh dari lantai 4 Rusun Rawabebek. 

Sedangkan tahun 2016, target Ahok mencapai 300-an titik yang akan digusur paksa. Aduh, membayangkan manusia-manusia dicerabut tempat berteduhnya dan  sumber nafkahnya, pertanggung jawabannya seperti apa sebagai pemimpin? Sementara ruang terbuka hijau, hutan bakau, bahkan pulaupun diberikan ijinnya kepada siapa yang mampu membayar harganya?

Sri Palupi dan aktivis lainnya memang memiliki alasan seperti itu. Gimana dengan saya yang bukan siapa-siapa tetapi pemilih di DKI ini? Sebenarnya aku juga dulu gitu, mendukung Ahok mati-matian, hehe. Jejaknya masih ada di beberapa tulisanku di Kompasiana ini. Bahkan menjawab dengan tulisan untuk membela Ahok karena diserang oleh tulisan oleh seorang kompasianer. 

Tetapi sejak jadi Gubernur, Ahok memang lain. Saya lihat yang mendasar, katanya Ahok transparan, ternyata laporan keuangan dan tunjangan sebagai pejabat publik DKI hanya dibuatnya terakhir tahun 2013 ketika masih Wagub. Jadi pas plt Gubernur hingga jadi Gubernur sejak tahun 2014 Ahok sudah tidak transparan lagi soal gaji dan tunjangan sebagai gubernurnya. 

Kemudian kasus Sumber Waras hingga ijin reklamasi benar-benar menunjukkan Ahok sebagai gubernur impulsif dan menabrak prosedural dan aturan hukum. Termasuk juga ketika saya membaca ulang penggusuran-penggusuran yang dilakukannya, karena dulu saya juga menganggap itu relokasi untuk kehidupan yang lebih baik. Tidak, itu tidak lebih baik, tetapi sungguh sebuah pelanggaran HAM berat, karena memang tidak memberikan solusi terbaik bagi manusia digusur paksa. Apalagi ketika tentara dilibatkan untuk menggusur, seolah ini adalah perang. Wong cilik diperangi?

Ya sudah gitu aja, semoga Jakarta memiliki pemimpin yang memang peduli pada rakyatnya dengan tulus. Gak dibuat-buat atau seolah-oleh, apalagi dipoles oleh media mainstream. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun