Saya gak membahas soal SS terkait masalah Freeport. Kalau kasus itu jelas deh, sikat saja pengkhianat bangsa yang mau menjual negara ini demi kepentingan pribadi. Tetapi ini menyangkut kebijakan kenaikan tarif listrik bagi pelanggan 1300 VA dan 2200 VA. Kebijakan yang sangat aneh menurut saya, karena dengan kebijakan ini, tarif listrik yang merupakan monopoli PLN dilempar mekanisme harganya ke pasar.
Dasar hukum kenaikan tarif listrik ini adalah Permen ESDM (SUdirman Said) no.09 tahun 2015 dimana tarif listrik bagi 12 golongan mengikuti tarif adjustment (penyesuaian). Jadi per-1 Desember 2015, golongan 1300 VA dan 2200Va akan mengalami kenaikan tarif, sementara golongan 3000-an VA keatas malah mengalami penurunan. Penyesuaian yang dimaksud disini adalah sesuai dengan inflasi, harga minyak ICP dan kurs rupiah. Keanehan penyesuaian tarif ini:
1. Golongan 1300 kebanyakan adalah masyarakat tidak mampu yang ketika mendaftar listrik tidak disediakan oleh PLN untuk 900 VA. Jangankan disesuaikan, untuk bayar tarif sekarang saja banyak yang ngos-ngosan. Seperti OB dikantor saya, bayar listrik perbulan mencapai Rp 600.000. Padahal tidak memakai AC, hanya menggunakan mesin cuci, setrika, kipas angin doank. Apalagi jika tarif listrik golongan ini dinaikkan? Pendapatan bulanan bisa tergerus oleh biaya listrik.
2. Harga minyak dunia sedang turun drastis. Dulu pas masa SBY bisa lebih dari 100 USD, sekarang turun hingga 37 USD/barrel. Tidakkah komponen terbesar pembangkit listrik adalah biaya energi primer pembangkitnya? Bukan hanya minyak bumi yang turun drastis, tetapi nyaris harga semua sumber energi seperti batu bara dan gas. Jika harga energi primer untuk pembangkit turun drastis mengapa tarif listrik bisa naik?
3. Jika tarif 1300 VA yang menurut saya kebanyakan digunakan oleh masyarakat tidak mampu atau kelas menengah-bawah, maka yang anehnya tarif listrik untuk golongan 3000-an malah turun. Jadi tarif listrik wong cilik dinaikkan, sementara tarif listrik untuk orang kaya malah diturunkan?
4. Dasar penyesuaian tarif listrik tidak memasukkan komponen daya beli masyarakat serta efisiensi PLN. Mosok hal-hal yang tidak bisa dikendalikan konsumen dan harusnya dikendalikan negara menjadi beban rakyat Indonesia ketika dikonversi ke tarif lisrtik? Masalah kurs, inflasi dan harga minyak dunia adalah masalah yang harusnya dikendalikan oleh pemerintah ketika mengeluarkan kebijakan domestik.
5. Bicara mengenai efisiensi PLN, apakah PLN bisa membenahi kasus pencurian listrik? Kasus ini merugikan PLN hingga ratusan milyar rupiah. Tetapi hingga sekarang penanganannya tidak jelas. Jangan katanya PLN rugi Rp 300 milyar makanya tarif dinaikkan. Padahal karena tidak mampu untuk efisiensi? Siapa yang mengukur efisiensi yang telah dilakukan oleh PLN?
6. Pelayanan yang diberikan oleh PLN tidak sebanding dengan tarif yang terus naik. Pengaduan 123 seringkali tidak diangkat. Byar pet masih terus terjadi di beberapa wilayah. Apakah PLN pernah memberi kompensasi atas kerugian konsumen akibat gangguan listrik seperti ini?
7. Kondisi daya beli masyarakat Indonesia sedang lesu sekarang ini. Dengan kenaikan tarif listrik, itu akan semakin menggerus daya beli konsumen. Apakah rakyat yang sedang mengencangkan ikat pinggang ini semakin dicekik dengan harga listrik yang semakin naik? Justru masyarakat yang daya beli elastisnya tinggi (kelas atas) tarifnya malah diturunkan?
Semoga BUMN seperti PLN tidak semakin kapitalis, melebihi swasta.
Ya sudah, gitu saja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H