Ketika rupiah makin loyo, sekarang mencapai Rp 13.800-an, maka seharusnya prioritas pemerintah tentu menahan beberapa impor komoditas yang memang 'tidak dibutuhkan'. Atau jika itu menyangkut impor pakan ternak yang mencapai sekitar Rp 10 Trilyun, maka pemerintah harusnya sesegera mungkin mencari substitusi sebesar-besarnya di produk lokal. Karena pakan ternak merupakan input bagi 6,7 juta rumah tangga Indonesia yang menumpukan nafkahnya di peternakan rakyat tersebut.
Nah kalau tembakau? Ternyata impor tembakau Indonesia mencapai 150 ribu ton atau Rp 50 Trilyun (sumber: Antaranews, 28 Juli 2015, mengutip Mentan Amran Sulaiman). Permintaan rokok tampaknya akan selalu meningkat pesat, karena iklannya masih sangat gencar, promosi melalui spg-spgnya yang cantik juga luar biasa menjangkau setiap cafe, toko, mall-mall, termasuk juga sponsorshipnya yang tidak tanggung-tanggung kemana-mana. Perokok awal semakin muda, semakin banyak, sementara yang sudah terjerat akan sulit lepas karena menimbulkan adiksi atau kecanduan.
Tembakau yang menjadi bahan baku rokok ini bukan saja membuat rupiah semakin loyo, tetapi biaya Rumah Tangga yang tergerus akibat rokok mencapai Rp 138 Trilyun. Dan yang menyedihkan, bagi RT miskin, prioritas anggaran RTnya no.1 ternyata untuk rokok, yang kedua baru beras. Pengeluaran untuk rokok 13 kali lebih besar dibandingkan susu, telur, ayam dan ikan, makanan nutrisi yang seharusnya dikonsumsi oleh rakyat Indonesia.
Dan jangan khawatir jika rokok dibikin tidak terjangkau bagi rakyat miskin, karena perputaran anggaran rumah tangga akan menghidupkan komoditas lain yang jauh lebih bermanfaat bagi RT tersebut, seperti nutrisi, pangan sehat, akses pendidikan maupun kebutuhan sandang dan papan (perumahan). Tetapi jika kembali lagi untuk konsumsi rokok, maka pendapatan RT miskin yang seadanya itu hanya habis dibakar, sehingga akan semakin memperdalam kesenjangan kemiskinan di Indonesia. Indeks Gini akan semakin tajam.
Kemudian kerugian akibat kehilangan produktivitas karena sakit, perawatan inap, kematian dini, disabilitas mencapai Rp 107 Trilyun. Tidak heran BPJS bisa jebol, karena sakit akibat rokok ini tinggi sekali peningkatannya di Indonesia. Untuk terapi kemo kanker paru saja bisa antri berbulan-bulan. Belum lagi sakit akibat stroke (prevalensinya meningkat pesat, dari 8% ke 12% di Indonesia), jantung, PPOK (paru-paru mengeras, tidak lentur lagi dalam bernafas), bukanlah penyakit berbiaya rendah.
Dan ditengah rupiah yang semakin lesu, pemerintah perlu memikirkan langkah yang strategis dalam mengendalikan konsumsi rokok. Efek bergandanya bagi ekonomi Indonesia, dan terutama sekali bagi kesehatan rakyat Indonesia tinggi sekali.
Ya sudah gitu saja, Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H