Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Artikel Utama

PR Jokowi; Warisan SBY Ini Lebih Parah dari Tumpukan Hutang?

8 Mei 2015   12:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:15 2927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_415985" align="aligncenter" width="630" caption="Presiden SBY dan presiden terpilih Joko Widodo melakukan pertemuan empat mata membahas proses transisi kepemimpinan, di Laguna Resort and Spa, Nusa Dua, Bali, Rabu (27/8) malam. (foto: abror/presidenri.go.id)"][/caption]

Tentu saja kita menghargai bahwa selama 10 tahun dibawah pemerintahan pak SBY, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup baik.  Kelas menengah - kaya Indonesia meningkat, tetapi indeks GINI, yaitu indeks yang menunjukkan gap atau jurang dengan masyarakat miskin juga meningkat. Yang miskin semakin miskin.

Pertumbuhan ekonomi itu ditopang oleh nilai hutang yang ditinggalkan oleh SBY; yang meningkat 94,82% selama pemerintahannya, atau sekitar Rp 1.232,31 Trilyun. Jadi total pembukuan hutang Indonesia di bulan Agustus 2014 mencapai Rp 2.531, 81 Triliun. Hutang ribuan trilyun, bunganya aja berapa tuh. Mesti menjadi beban APBN untuk menyicilnya. Membuat APBN sulit bernafas untuk pembangunan berikutnya, termasuk infrastruktur?

Tetapi sesungguhnya, ada PR besar lain bagi pak Jokowi, yang lebih mengkhawatirkan dibandingkan 'warisan hutang'. Yaitu tentang daya saing manusia Indonesia. Betapa parahnya kualitas manusia Indonesia, dan sudah 'diwarning' oleh WHO. Karena Indonesia 'istimewa', dalam waktu yang bersamaan mengalami peningkatan 'triple burden', yaitu stunting (pendek), kurus sekali, dan obesitas (kegemukan).

Tiga beban ini akan menggerogoti kualitas fisik, kecerdasan hingga mental balita dan anak-anak Indonesia, karena merupakan akibat dari kurang nutrisi (untuk stunting dan kurus), sejak dari ibu hamil, melahirkan hingga anak berusia balita.  Sedangkan obesitas bisa jadi karena pola makan yang rusak,terutama oleh agresivitas iklan makanan tinggi lemak yang bisa menyasar anak-anak balita. Obesitas juga bisa jadi karena stunting itu, jadi cenderung untuk melebar ke samping, bukan ke atas.

Data Riskesdas 2013 menunjukkan peningkatan kurang gizi balita Indonesia menjadi 19,6%.  Jadi nyaris 1 dari 5 balita Indonesia kurang gizi. Kurang gizi bisa jadi berawal dari ibu-ibu atau keluarga yang mengalami KEK (Kurang Energi Kronis). Karena data KEK selalu berkaitan dengan data balita kurang gizi.  Data riskesdas untuk Wanita Usia Subur (WUS) yang mengalami KEK juga tinggi sekali, yaitu 20,8%. Bahkan untuk KEK wanita hamil bisa mencapai 24,2%.

Selain itu, perlu mendapat catatan bahwa peningkatan penyakit tidak menular secara tajam juga mendera manusia Indonesia, yaitu penyakit stroke, jantung, diabetes, kanker hingga sendi.

Kerugian Indonesia dengan kondisi kesehatan seperti itu:

1. Beban tanggungan penyakit oleh negara akan semakin tinggi. BPJS bisa jebol, alokasi APBN bisa semakin tinggi untuk membiayai penyakit tidak menular masyarakat seperti peningkatan kanker, stroke, jantung, diabetes. Apalagi kekurangan nutrisi itu ditukar oleh konsumsi rokok. Rokok merupakan pengeluaran rakyat miskin no.2 setelah beras (di masyarakat miskin perkotaan pengeluaran rumah tangga no.1), menggantikan pengeluaran telur, ikan, susu, dan sumber nutrisi lainnya.

2. Sulit bagi Indonesia menjuarai event-event olahraga, karena ya gitu, kecil-kecil, baru lari sebentar napasnya sudah sesak. Olahraga bukan sekedar kemampuan skill, tetapi juga daya tahan fisik.

3. Nah ini yang terpenting;  dari segi kemampuan berpikir dan daya saing manusia global. Berpikir cerdas dan kreatif membutuhkan input makanan yang bergizi. Jika tidak menjadi perhatian pemerintah, rakyat negeri ini hanya akan menjadi kuli di negeri sendiri. Atasannya bisa jadi orang Pilipina, Malaysia, Singapura, Thailand, bahkan Vietnam?, dstnya  (dalam rangka MEA dan perjanjian global lainnya).

Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun