Para pelayat telah pulang kembali. Rumah ini berangsur sepi. Dan kami menekur dengan pedih. Hampir tak percaya. Baru beberapa hari yang lalu masih saling menyapa. Dan ayahku pun masih mengajar di kampus minggu itu. Tetapi ajal memang tak mengenal waktu.
Betapa damainya wajah itu. Damai sekali. Tertidur di keabadian. Dengan senyum yang indah. Apakah sang malaikat begitu lembutnya padamu, wahai ayahku? Dan apakah ketika waktu terhenti, dia telah membawamu ketempat yang penuh keindahan? Menjelajahi tempat yang tak tersekat lagi oleh ruang dan waktu? Semoga, Amiin YRA....
***
Kami masih terpekur seperti orang linglung. Ibuku diam terpaku. Termangu. Kadang menggelengkan kepalanya. Mengusir kepedihan. Yang sangat pedih. Kesedihan. Yang sangat sedih.
Dan setelah tamu pelayat benar benar sepi, aku masuk ke kamar ayah ibuku. Melihat lemarinya. Menciumi baju bajunya. Dengan air mata yang masih menetes. Dan ketika itulah, aku melihat buku diary ini. Diary ibuku. Buku ini sudah lama sekali. Dulu perasaan ketika SMP, ibuku sempat menunjukkan buku ini padaku. Memperlihatkan puisinya. Tetapi ketika itu aku tidak begitu peduli.
Buku dengan lembaran kertas yang sudah sangat kusam dan rapuh ini, kubuka lembar demi lembar. Ada tulisan nyambung, model tulisan orang jaman dulu. Dan dengan gemetar, aku membacanya,
Ni mengenal lelaki ini karena nilainya paling tinggi se-Ekonomi. Ketika kenalan dengannya, Ni terpukau. Jantung berdetak. Lelaki ini, orang Jawa, kurus sekali, tinggi, putih bersih, dengan matanya yang sipit. Mata itu tajam memandang Ni, ketika Ni mengulurkan tangan ingin kenalan. Dingiin. Namanya, Adam.
Ni pulang dengan wajahnya yang terus membayang. Ni memutuskan ikut jurusan akuntasi, karena lelaki ini masuk ke jurusan ini. Tetapi ternyata hanya Ni perempuan satu satunya di jurusan ini. Dan ketika mereka belajar bersama, ternyata Ni tidak diajak. Huu, akhirnya Ni memutuskan pindah jurusan lagi. Ke Manajemen saja. Tetapi lelaki itu, sungguh Ni ingin kenal lebih jauh.
Aku menghela napas. Ni itu, ibuku, memang jatuh cinta pada ayahku pada pandangan pertama. Ketika masih tingkat satu. Aku meneruskan membaca,
Ternyata rumah Adam dekat dengan rumah Ni. Dan tanpa sengaja kami bertemu di jalan, sama sama mengenderai sepeda ke kampus. Dan setelah itu, Adam akan menjemput Ni untuk sama sama ke kampus, beriringan bersepeda..
Kadang, di malam minggu pun Adam akan datang. Kami berjalan jalan di air mancur dipusat kota. Dengan berjalan kaki. Cinta tidak diikrarkan dengan lisan. Tetapi melalui pandangan matanya. Dan perhatiannya, Ni merasa Adam pun mencintai Ni. Dan temen kuliahpun sudah memaklumi. Kalau kami berpacaran.
Hingga suatu ketika....
Adam tidak masuk kuliah. Sudah lama. Dia memutuskan bekerja dulu. Ayahnya telah wafat. Dan sebagai lelaki tertua, dia tidak akan membiarkan adik adiknya terlantar. Dia bekerja dari pagi sampai malam. Ni tidak ingin dia putus kuliah. Ni mencatatkan kuliah untuk Adam. Biar Adam tidak ketinggalan materi pelajaran.
Pernah, Ni ke tempat kerjanya. Ni melihat dia dimarahin bosnya. Ni tidak tahan, saat itu juga Ni menangis, air mata bercucuran melihat Adam dihina seperti itu oleh bosnya.
Duh, betapa dalamnya perasaan ibuku pada ayahku. Tanpa sadar, bulir airmataku jatuh menetes ke buku itu.
Setelah sama sama lulus kuliah, ternyata Adam tidak ingin langsung menikah. Dia ingin bekerja dulu. Sementara Ni sudah didesak untuk menikah. Akhirnya kami putus. Perjodohan kepada Ni sudah ditawarkanterus. Tetapi Ni tidak bisa menerima. Akhirnya Ni ingin pergi ke Malaysia saja. Bekerja disana, sekalian melupakan Adam
Lembaran lembaran semakin ke akhir buku. Banyak yang kulewati, karena khawatir ibuku masuk ke kamar dan melihatku membaca buku ini.
Walaupun kami putus, ternyata Adam selalu melewati rumah kami. Dan menitipkan salam. Ehmm, apa maksudnya? Ni tidak ingin berharap lebih jauh. Apalagi Ni juga mendengar, Adam dijodohkan juga dengan perempuan Jawa yang sesuku dengannya.
Dan ini adalah lembaran yang romantis, menurutku.....
Deg! Ketika menonton acara musik dangdut di lapangan dekat rumah Ni, ternyata Adam sudah berada di belakang Ni. Ni kaget, ketika melihat kebelakang, Adam memandang dengan matanya yang lembut dan senyum manis tersungging di bibirnya. Selesai acara dangdutan nan heboh ini, Adam mengantar Ni pulang. Di teras rumah, Adam menggenggam tangan Ni dan melamar Ni. Ni gemetar, tangan Ni dingin. Dan Ni terharuu, tidak tahu terlalu bahagia ataukah malu.
Sampai disini, aku menutup buku diary ini. Kusimpan dengan rapi lagi, di sela baju baju ayahku. Dan kemudian, aku keluar kamar. Kupeluk bundaku, dari belakang, dan kucium pipinya. Terpatri di hati ini, kamilah, anak anaknya, yang akan menggantikan ayahanda kami untuk membahagiakannya.
Menceriakan hari hari bundaku. Walaupun tentu saja, kami tetap tidak akan mampu mengisi sesuatu yang kosong di relung hatinya, keterpisahan dari yang dicinta, seorang belahan jiwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H