[caption id="attachment_220936" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Indonesia adalah surganya bank asing untuk masuk dan berkembang di negara ini. Padahal, suatu bank nasional Indonesia, untuk membuka cabang di negara lain (Hongkong) saja susahnya setengah mati. Itupun ketika buka, otoritasnya sangat dibatas. Hanya boleh digunakan pekerja Indonesia dan untuk pengiriman uang. Tidak boleh untuk mengumpulkan dana masyarakat asli negara itu. Bandingan dengan bank asing yang berkembang di Indonesia. Bukan saja mengumpulkan dana masyarakat, tetapi fokus mereka juga semata untuk mengembangkan kredit konsumsi, seperti gencarnya menawarkan kartu kredit dan KPR. Bahkan, seorang mantan ketua lembaga konsumen pernah mensinyalir bahwa terdapat modus ketika bank asing menawarkan KPR, dan nasabah tidak mampu membayar, maka bank asing tersebut akan menyita aset nasabah tersebut. Dan ini dibuat dengan memberikan kredit murah di awal, tetapi kemudian semakin tinggi tahun tahun berikutnya. Hingga akhirnya nasabah tidak sanggup membayar. Karena tidak sanggup membayar, assetnya pun disita oleh bank asing tersebut. Sehingga kepemilikan asset bank asing tersebut di Indonesia makin besar. Ini adalah modus, untuk mensiasati sulitnya kepemilikan asing atas asset di Indonesia. Bandingkan dengan beberapa bank nasional Indonesia yang besar, yang fokusnya adalah penyaluran kredit ke Usaha Kecil Menengah (UKM). Sehingga bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Kalau perbankan asing malah emang tidak peduli untuk memberdayakan UKM. Tingkat kepemilikan asing di perbankan Indonesia memang meningkat gila gilaan. Tahun 1998, masih 10%. Sementara tahun 2012 ini sudah mencapai 50% (Institut of Global Justice). Tingginya kepemilikan asing ini membuat negara Indonesia bisa disebut sebagai negara paling liberal di dunia untuk masalah perbankan! Dan kewenangan mereka sangat besar. Mulai dari pengumpulan dana masyarakat, hingga penyaluran kredit, terutama kartu kredit, KTA, KPR, kredit otomotif, yang rata rata dengan bunga yang tinggi. Yang jelas, pengumpulan dana masyarakat oleh bank asing sangat riskan. Apalagi beberapa negara eropa dan AS mengalami krisis ekonomi. Dana itu bisa digunakan untuk kepentingan negara yang bersangkutan. Seharusnyalah BI peduli terhadap ini. Bukankah perbankan seharusnya berfungsi sebagai stimulator pertumbuhan ekonomi nasional? Bukannya malah 'menjual' dana masyarakat dan asset negara ini ke bank/negara asing!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H