Padahal sudah jelas tertera di konstitusi bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat? Tetapi kemana larinya kekayaan alam Indonesia itu? Bukankah ini pelanggaran konstitusi?
Dan masuk ke pelanggaran Pancasila pula, karena dengan jelas Pancasila yang merupakan asas prikehidupan bangsa Indonesia menginginkan rakyat berdaulat, bermartabat, dan memperoleh keadilan dan kesejahteraan.
Tetapi itulah ironi yang terjadi pada kekayaan alam indonesia. Khususnya ketika negara berdaulat Indonesia menyusun kontrak karya dengan perusahaan asing yang bernama Freeport-Mc Moran Copper & Gold Inc, yang berbasis di Amerika Serikat.
Perusahaan tambang ini hanya merupakan perusahaan tambang yang kecil. Tetapi setelah mengeruk Grasberg di Papua, menjadi perusahaan tambang terbesar di dunia (tahun 2007), dengan keuntungan mencapai US$ 6,555 miliar. Penemuan emas di Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia.
Bahkan ketika KK II dibuat, 6 tahun sebelum KK I berakhir (1991), bargaining Indonesia masih terlihat sangat lemah. Nyaris tidak ada perubahan kontrak. Yang parahnya, hampir tidak ada pengawasan pemerintah terhadap produksi tambang ini, karena hanya 29% yang diolah di dalam negeri, sementara 71% langsung dibawa ke luar negeri, diluar pengawasan pemerintah. Bahkan periode sebelumnya, 100% dibawa ke luar negeri, sehingga pemerintah benar benar tidak mengetahui berapa yang dihasilkan oleh Freeport.
Termasuk ketika itu emas yang dihasilkan dari pertambangan tembaga, yang dianggap hanya 'by product'. Baru pada tahun 1995, Freeport mengakui emas sebagai galian utama tambang mereka. Bayangkan, padahal mereka telah menggali sejak tahun 1967, sehingga 'by product' emas (selama 28 tahun!) yang sangat berharga ini tidak dishare secuilpun kepada negara Indonesia. Dimana kedaulatan bangsa?
Belum lagi kasus pelangaran hak asasi manusia yang terjadi disini. Berapa darah yang telah tumpah untuk mengamankan Freeport? Benar benar 'blood gold, blood copper'.
Sementara PT. Newmont yang 'berkuasa' di Minahasa (dan sekarang sedang malang melintang di Nusa Tenggara Barat), juga memainkan peran yang sama. Betapa lemahnya bargaining pemerintah terhadap perusahaan asing Amerika Serikat ini!
Jadi inget, beberapa bulan lalu bertemu teman aktivis lingkungan, mbak Jul yang mengadvokasi masyarakat Teluk Buyat, yang terkena dampak limbah perusahaan tambang ini. Dengan pedih, mbak Jul mengatakan, bahkan sampai sekarang, bayi yang lahir disana banyak yang lahir cacat, lemah, dengan kondisi kulit yang rusak parah. Tuntutan kepada Newmont dan pemerintah Indonesia gagal di pengadilan.
Dengan biaya yang diberi Newmont kepada beberapa Perguruan Tinggi ternama, 'katanya' membuktikan bahwa tidak ada limbah logam berat. Padahal sebelumnya KLH saja sudah mengakui adanya pencemaran. Tidak ada relokasi, tidak ada ganti rugi. Kompensasi yang ada paling hanya penyediaan air bersih (berarti kan airnya memang tercemar!), tetapi itupun tidak jalan. Sekali lagi, dimana kedaulatan pemerintah dan negara RI?
Dan sekarang dengan kedatangan Hillary Clinton, sekali lagi 'katanya' memang dalam rangka mengamankan Freeport. Dan pertanyaan yang tersisa, maukan Presiden SBY menunjukkan bahwa negara kita memang berdaulat? Bukan negara jajahan? dan bisakah direnegosiasi kontrak karya yang sangat tidak imbang tersebut? Kalau tidak, apa aku bisa bilang bahwa orang orang seperti dia sebagai pengkhianat bangsa? ah entahlah....