Memang susah banget minta maaf itu. Kadang kalau dua orang konflik, masing masing pasti menganggap dirinya yang paling benar. Tetapi yang paling baik tentu yang bersedia menyudahi konflik dengan mau merendahkan diri meminta maaf.
Dalam konteks hubungan antar negara, tentu minta maaf itu lebih luas lagi maknanya. Ya iyalah, bisa menghindarkan perang atau yang paling ringan, bisa mengurangi dampak ekonominya. Apalagi kalau negara itu saling bertetangga.
Nah, ini kalau konflik masih samar. Tetapi kalau sudah jelas merenggut nyawa? Seperti kasus Israel pada Turki dan Mesir? Aktivis Turki yang meninggal di Mavi Marmara 9 orang. Mavi Marmara adalah kapal yang membawa bantuan untuk Palestina, tetapi diserang Israel di perairan internasional. Tewasnya aktivis ini membuat Turki menuntut Israel meminta maaf.
Maaf? Wah boro boro Israel mau minta maaf, wong mereka keukeuh pasukannya yang militer itu membela diri dari orang sipil (nahlo, logikanya dimana coba). Dan Turki juga telah mengusir Dubes Israel. Tetapi Turki emang masih tetap mencoba di jalur hukum. Mereka membawanya ke pengadilan internasional. Kalau gagal juga? Yang jelas, sekarang ini kekuatan militer Turki terkuat di timur tengah. Hubungan militer yang manis dengan Israel pun telah pula diputus oleh Turki.
Sementara Mesir? Mesir kehilangan 15 orang rakyatnya yang tewas ketika demo di perbatasan israel. Ditambah ditembaknya 5 orang polisi mesir. Ini aja sudah cukup meluapkan emosi rakyat mesir pada israel. Aku jadi inget, ketemu seorang pemuda mesir yang bilang,'i'm looking for war with israel'....padahal anak muda itu gak jenggotan loh, suka dansa dansi...tetapi ubun ubunnya sudah panas banget ma israel. Apalagi anak muda yang suka ngaji. Jadi, ini hampir menjadi cerminan anak muda mesir pada umumnya. Mereka gak takut mati dan pengen perang sama Israel.
Dan Mesir sudah pengalaman perang lawan Israel, 2 kali. Yang pertama perang 6 hari tahun 1967 yang berakibat kekalahan fatal bagi Mesir (dan gabungan negara arab lainnya). Kemudian perang pada 6 Oktober 1973, yang berakhir dengan kemenangan tentara Mesir, dan kembalinya Port Said serta Sinai kepangkuan Mesir.
Kemudian, pada tahun 1978, Anwar Sadat menandatangani perjanjian Camp David yang antara lain Israel harus kembali ke perbatasan internasional dan Sinai tetap ditangan Mesir. Tetapi hak hak bangsa Palestina dan pengakuan adanya 2 negara paralel, Israel dan Palestina tidak dibicarakan. Sayang, ini sumber konflik berat, la wong sampe sekarang rudal israel masih nyaplok ke gaza.
Turki dan Mesir, kayaknya Israel gak bisa main main dengan 2 negara ini. Dua negara ini beda dengan negara arab teluk yang keamanannya sangat tergantung kepada militer AS. Jadi terlalu tunduk pada AS. Sedang Turki dan Mesir, walau masih berbaik baik dengan AS, tetapi lebih punya bargaining power dalam berhubungan dengan AS.
Apalagi kemaren Erdogan (Perdana Menteri Turki) datang ke Kairo (Mesir). Salah satunya adalah untuk menanda tangani kerjasama militer antara Turki dan Mesir. Sinyal apakah ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H