Beberapa hari ini, Karen Agustiawan, Dirut Pertamina memang lagi dipanggil sebagai saksi oleh pengadilan Tipikor, terkait pemberian THR kepada anggota DPR. Karen yang dianggap berbelit-belit dalam memberikan jawaban, dimarahi oleh hakim, karena memberikan kesaksian diluap BAP yang telah ditanda-tangani.
Kesaksian Karen terkait tersangka, ketua SKK Migas, pak Rudi Rubiandini yang meminta THR anggota DPR ke Pertamina. Selain ketua SKK Migas, Sekjend kementrian ESDM, Waryono Karno juga meminta THR ini kepada Pertamina. Bahkan RR mengancam Karen akan diadukan ke Jero Wacik, jika tidak menyediakan uang 150.000 USD kepada Komisi VII DPR.
Tetapi Karen bersiteguh, bahwa anggota DPR memang tidak meminta langsung kepada beliau.  Mungkin di BAP, Karen sempat bilang iya, tetapi di pengadilan, karena itu bukan dialami secara langsung, Karen bilang enggak.
Memang menyedihkan nasib BUMN di negara ini. Kalau BUMN yang tidak terkait dengan alokasi APBN, mungkin masih bisa kuat menolak. Tetapi kalau masih memikirkan posisinya, bisa jadi juga 'tidak kuat' menghadapi tekanan seperti ini.
Nah, bagaimana bila duitnya BUMN ini nangkring di APBN? Dan nangkringnya itu bukan kisaran milyaran, tetapi trilyunan! Seperti Pertamina, dananya yang nangkring di APBN bisa berkisar ratusan trilyun, yang harus dibayarkan negara sebagai kompensasi subsidi BBM. Bagaimana hendak mencairkan dana ini? Inilah yang pernah saya dengar, bahwa untuk pencairan alokasi ini saja, bisa-bisa DPR meminta persenan?
Dilema BUMN seperti ini, jika tidak memberi persenan tersebut, maka pencairan bisa diperlambat, atau bisa juga dipotong? Padahal uang yang menjadi hak BUMN ini sangat berarti sekali bagi pengembangan perusahaan.
Jangankan BUMN ya, pernah seorang teman yang kerja di perusahaan Migas asing cerita, ketika hendak mengurus cost recovery ke Jakarta, dia ditelpon orang yang ngaku anggota DPR. Minta bertemu, dan berjanji akan mengurus secara cepat cost recovery ini. Teman ini menghindar terus, tetapi mengurusnya memang jadi berbelit-belit banget, bolak balik dari Balikpapan ke Jakarta berkali-kali. Untung dia emang smart banget, jadi cost recoverynya tetap bisa keluar....:D
Itu Migas asing, yang gak terkait dananya nangkring di APBN. Pertamina tentu beda, dan tekanannya mesti jauh lebih 'kuat dan sadis'. Kalau seperti ini, kapan BUMN Indonesia bisa benar-benar profesional dan bersaing dengan negara lain?
Padahal dibawah Karen, Pertamina masuk ke rangking 122 perusahaan terbaik dunia versi majalah Fortune. Karen sendiri juga sempat masuk menjadi Perempuan paling berpengaruh di Dunia dalam Bisnis, no. urut 9 versi Forbes. Karen juga masuk dalam perempuan paling berpengaruh dunia (no.1) dalam dunia Migas versi Lembaga Training Migas yang berbasis di London.
Pertamina bukan saja berbenah secara internal dengan semakin profesional, tetapi juga berhasil di luar negeri, mengakuisisi BP, selain lumayan agresif masuk ke Migas suatu negara. Seperti di Kazakstan yang kaya sekali Migas, suamiku bilang, Pertamina sudah masuk disini. Petronas lewat.
Semoga pemerintahan baru dan anggota DPR hasil legislatif bisa transparan dan mampu membuat BUMN semakin kompeten dan profesional.