[caption id="attachment_329223" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - Kotak Suara Pemilu/Kompasiana (KOMPAS.com)"][/caption]
Kemarin, kami silaturrahmi ke pak Haji yang mengasuh pesantren yatim piatu dhuafa di kawasan pinggir Jakarta. Setelah ngobrol ngalur ngidul, pak Haji cerita beberapa caleg yang datang minta doa restu untuk maju tahun ini. Selain ngasih doa, tentu pak Haji wanti-wanti jika kalah juga harus kuat, harus legowo.
Maklum, kata pak Haji, periode tahun 2009, beberapa caleg gagal di sini ada yang stres berat hingga gila. "Lah itu, saking stressnya, langsung buka baju, jalan kemana-mana." Ya ampun, habis nyaleg, bugil di jalanan saking tidak tahan dengan kegagalan?
Kalau kata pak Haji, caleg tersebut habis-habisan agar terpilih. Dia orang asli sini, tanahnya pada dijualin untuk modal kampanye. Setelah gagal, harta habis, terus jadi gila.
Sekarang gimana dianya pak Haji? Alhamdulillah, sekarang sudah sembuh, dan jadi tukang ojek untuk menyambung hidup.
Pak Haji lanjut, "Yang bikin dia stress bukan karena semata soal kalahnya. Tetapi karena dari penghitungan dia, suaranya sudah memadai untuk terpilih. Hanya tidak dikawal hingga KPU nya. Maklum dia asli orang sini, kenal semua tokoh masyarakat hingga wong kawulo, dan aktif dikoperasi. Jadi mesti dipilihlah, daripada orang gak jelas blas nyaleg di sini. Dan pas penghitungan suaranya sudah tinggi. Tiba-tiba bisa menciut, jadi bukan dia yang terpilih."
"Ini penggembosan suara. Bisa jadi orang KPU sini menawarkan suara kepada orang yang mau membeli suara ke dia dengan harga yang mahal. Kan kita gak tau, kredibilitas KPU ketika di level terendah hingga kabupaten atau kotamadya. Kalau tidak dikawal secara ketat, itu bisa saja terjadi. Godaan sangat besar untuk jual beli suara."
Tahun 2009 memang banyak terjadi masalah soal suara. Bukan saja soal penggembosan rill suara yang masuk, tetapi juga penggembosan pemilih. Jadi inget, didaerah pemilihan kami saja, yang tahun 2004 pada milih, sebagian besar tidak milih pada tahun 2009. Disini tahun 2004 yang menang bukan partai penguasa.
Jadi sekali lagi, untuk tahun 2014, semoga rakyat, terutama para caleg dan partainya mau mengenal orang-orang KPU di dapilnya, kemudian beneran mengawal suara hingga hasilnya dipublikasikan. Hati-hati, karena walaupun sudah banyak saksi, pakai sistem IT, yang mengoperasikannya tetap manusia yang bisa jadi gampang tergoda, atau punya kepentingan (bisa jadi hingga kefanatikan ke partai tertentu) atau tokoh tertentu.
Waduh, gitu dengar gini dari pak Haji, semoga 2014 ini lebih baik dah. Pulang-pulang kami disangu rambutan dan duku seabrek-abrek, hasil panen dari kebun. Alhamdulillah, hehee.
Ya sudah, gitu saja. Salam Kompasiana!