Di suatu perusahaan raksasa negeri ini, jam 11 malam, seorang taipan masih asyik meeting dengan anak buahnya. Dan meetingnya bukan hanya dengan group satu anak perusahaan ini saja, sesekali dia pindah ke ruangan sebelah, ikutan meeting di group yang lain. Walaupun sudah berumur (sekitar 60 tahun?) pikirannya sangat jernih dan smart.
Energinya masih besar. Sense bisnisnya luar biasa. Dia datang tidak pakai ferari, cukup sebuah mobil setara camry, walaupun punya pesawat pribadi jika harus mobile ke tempat-tempat lain. Pulang rapat sudah jam 1 dinihari. Pagi harinya dia langsung terbang untuk urusan bisnis yang lain. Gile bener kerjanya.
Beliau adalah keturunan kedua konglomerat papan atas Indonesia. Jika perusahaan makin menggurita hingga kini, itu adalah hasil kerja keras dan kerja cerdas, menjalankan strategi bisnis yang tepat, dan yang paling penting 'jago dalam menjalin hubungan baik' dengan berbagai kalangan, terutama pemerintah.
Apakah orang seperti beliau masuk kategori konglomerat hitam? Ehmm, di Indonesia, menjadi pengusaha yang mulai dari nol sungguh bukan hal yang mudah. Apalagi jika perusahaan itu dibangun sejak zaman pak Harto. Pak Harto membangun hubungan patron-klien yang luarbiasa dengan pengusaha etnik tertentu, dan enggan memberi ruang kepada pelaku usaha pribumi.
Mengapa? Karena kekhawatiran bahwa kelas menengah yang terbangun dari independensi sumber nafkahnya (maksudnya usaha) akan mbalelo terhadap kekuasaan pak Harto. Jadi, mending memberi ruang kepada pelaku usaha tertentu yang dijamin bisa jinak, hanya mikirin bisnis, tidak politik. Makanya privelege impor, atau pengembangan jenis usaha tertentu, khusus diberikan kepada etnik ini.
Dan itu apakah salah si konglomerat? Ya enggak, karena dia menggunakan semua peluang yang diberikan oleh pemerintah orde baru ketika itu. Kalau yang mau aman, pengusaha pribumi 'mainnya' di golkar. Disini ada Bakrie gorup, Kalla group. Walaupun track record yang pribumi ini juga belum tentu seputih susu. Ada kasus lapindo, ada kasus pengemplangan pajak Rp 10 T. Dan ada kekhususan pemberian proyek tertentu, ketika pengusaha ini sekaligus juga penguasa. Conflict of interest yang sulit untuk diabaikan.
Konglomerat memang macam-macam. Saya tidak berani menyebutnya sebagai hitam, putih atau abu-abu, karena pola hubungan pemerintah-pelaku usaha di Indonesia memang kebanyakan kalau gak diperas, ya pelaku usahanya memakai istilah menyuap dulu baru gol usahanya.
Sulit sekali membangun kode etik yang benar-benar lurus, ada beberapa yang sekarang memakai perijinan online, untuk meminimalkan kontak antara si pemberi ijin dengan pelaku usaha. Tetapi katanya itupun untuk usaha yang kroco. Kalau usaha besar, tetap lobi-lobi khusus diperlukan.
Konglomerat itu beneran hitam menurut saya nih, jika:
1. Menggunakan dana pencucian uang dari usaha narkoba, illegal loging, pembunuhan bayaran, dan tindakan kriminal lainnya
2. Usaha yang dilakukan tidak membayar pajak, buruh dibayar murah (jauh di bawah UMP), mencemari lingkungan