Ada juga pengusaha hitam (belum sampe jadi konglomerat) dari usaha yang didapat bukan karena kompetisi yang adil, tetapi karena kedekatan kepada anggota DPR, pemerintah pusat, Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota, Bupati, dstnya. Tetapi usaha ini biasanya berumur pendek, karena tidak dikelola secara profesional, produk kualitas murah, dan siap-siap karena masalah politik terjerat oleh KPK. Kalau usaha gini, malah konglomerat besar jarang ikutan main, karena biasanya 'dikuasai' oleh keluarga, sodara jauh, teman dekat, teman jauh dari pemerintah atau DPR yang bersangkutan.
Kemudian, soal kedekatan konglomerat dengan politisi tertentu. Bisa jadi memang karena mereka tidak ingin jika politisi ini berkuasa, kepentingan usahanya terganggu.
Nah kalau khawatir konglomerat ini terlalu banyak mempengaruhi politisi tersebut, bukankah seharusnya negara ini juga memiliki sistem terhadap penyandang dana dari seseorang, berapa nilai maksimalnya, kode etik yang harus dilakukan terhadap pemberian konsesi usaha tertentu? Bukankah DPR juga terlibat dan bisa aktif menyuarakan protes jika sistemnya tidak adil?
Yang jelas, di negara manapun, yang namanya pengusaha nasional itu mesti disupport agar mampu bersaing dengan pengusaha asing. Dan supportnya itu bisa jadi adalah kebijakan dan kesempatan yang adil bagi semua, perlakuan khusus kepada pelaku usaha nasional atau yang membuka lapangan pekerjaan di negri sendiri (bukan murni impor), dan menekan praktek pungli, sehingga nilai tambah ekonomi negara itu semakin besar.
Bukan konglomerat yang bisa menenggelamkan Indonesia. Tetapi praktek korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara, eksekutif, legislatif dan yudikatif yang membuat Indonesia sangat terpuruk. Memeras, mengkorup uang rakyat, jerih payah rakyat, memalak pelaku usaha, hanya dengan jari telunjuk dan keputusan yang membahayakan kepentingan negara dan bangsa, tetapi menguntungkan dan memperkaya pribadi, keluarga dan golongan.
Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H