[caption id="attachment_334841" align="aligncenter" width="500" caption="Peternakan Ayam. Sumber:tubasmedia.com"][/caption]
WHO atau Badan Kesehatan Dunia PBB memang baru saja (akhir April 2014) mengeluarkan laporan mengenai ancaman resistensi (kekebalan) antibiotik secara global. Kebetulan saya juga mendapat laporan lengkapnya yang setebal bantal untuk tidur. Tetapi di dalam laporan ini, sayang sekali, surveilan atau data yang terkait Indonesia tidak ada. Kumaha eta Kemenkes dan Kementan?
Dalam laporan ini, WHO membagi resistensi akibat penggunaan obat antibiotik yang tidak rasional dan penggunaan antibiotik dalam rantai pangan. Sebagian mengenai penggunaan obat antibiotik irasional itu sudah saya tulis disini.
Nah, bagaimana di rantai pangan? Waduh, ternyata ini juga parah banget. Karena hampir semua sistem peternakan di dunia menggunakan antibiotik untuk menggenjot produktivitas peternakannya.Yah, bayangkan aja, anak ayam yang lucu baru berumur 32 hari sudah layak dipotong, lah badannya sudah guede, karena dikasih hormon plus antibiotik penggemukan badan. Begitu juga babi, sapi, baru berumur 4 bulan sudah siap digiring ke penjagalan. Di AS, 90% antibiotik bukan untuk manusia, tetapi untuk peternakan ini.
Dampaknya? Bakteri patogen yang biasa memberi penyakit ke ternak mulai resisten. Di Jerman sudah ditemukan lebih dari 50% ayam di supermarket mengandung bakteri yang tahan terhadap antibiotik. Bakteri super.
Di Malaysia, penelitian oleh lembaga kesehatan hewan Kementrian Pertanian-nya menemukan di supermarket setempat lebih 50% ayam lokal yang dijual mengandung bakteri resisten terhadap 3 jenis antibiotik, yaitu ampicilin, sulphonamide dan tetracycline. Ayam impor lebih parah, karena 87% bakteri yang ditemukan resisten terhadap antibiotik ampicilin, sulphonamide, streptomycin.
Di Indonesia? Data yang saya dapat tidak ada yang terbaru, tetapi trend bakteri yang resisten ini sudah ada. Sebenarnya di Indonesia, berdasarkan UU Kesehatan Hewan tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Kementrian Pertanian (Kementan), sudah dilarang penggunaan antibiotik yang dicampur didalam pakan. Penggunaan yang tepat, kebersihan kandang, penggunaan pakan yang organik, antibiotik hanya untuk mengatasi penyakit hewan, adalah langkah yang rasional dalam penggunaan antibiotik. Jangan berlebihan. Itu saja poinnya.
Lebih baik lagi jika semuanya memakai manajemen peternakan yang baik, sehingga pertumbuhan bisa digenjot tanpa antibiotik. Contoh negara yang berhasil melaksanakan ini adalah peternakan di Denmark, dimana pemerintahnya benar-benar strict tidak menggunakan antibiotik, tetapi peternakannya (peternakan babi) tidak jebol, tetap melaju naik produktivitasnya.
Antibiotik resisten didalam rantai pangan bisa ada dalam 2 bentuk, yaitu pertama, residu antibiotiknya sendiri, yang jika dikonsumsi akan terakumulasi dalam tubuh manusia dan mematikan bakteri baik, dan bisa menumbuhkan resistensi bakteri patogen. Kedua, dalam bentuk bakteri yang sudah resisten (super) tersebut. Untuk mengatasi bakteri super ini, cukup dengan memasak matang, benar-benar matang, sehingga bakterinya ikut mati (sesuper-supernya bakteri tetap mati juga kalau kena panas membara, hehee).
Sedangkan rantai pangan yang bisa jadi mengandung residu antibiotik dan bakteri kebal ini bisa mulai dari susu, telur, ayam, daging-dagingan lainnya. Jadi, pastikan kalau bisa menggunakan pangan hewani tanpa antibiotik, atau kalau bisa dikurangi deh. Kalaupun sulit, pastikan dikonsumsi dalam keadaan benar-benar mateng.
Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!