[caption id="attachment_378670" align="aligncenter" width="432" caption="Boneka Simbol Ikan ber-SNI. Foto: Ilyani"][/caption]
Tadi menghadiri seminar mengenai SNI (Standar Nasional Indonesia) produk perikanan yang diadakan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). Bayangan saya, tampaknya KKP paling siap dalam menghadapi pasar bebas ASEAN 2015 nanti, dengan secepatnya meningkatkan kualitas produk perikanan melalui SNI.
Tetapi, rasanya pembicaraan terlalu tinggi karena yang disasar selalu pasar ekspor ke luar negeri. Mau ekspor ke Eropa, AS, atau Jepang. Lah terus pasar domestik, emang gak berhak dapet ikan yang aman dan berkualitas? Padahal pasar domestik Indonesia berjumlah hampir 250 juta. Masa yang kita dapat ikan yang berformalin mulu atau yang memakai pewarna merah tekstil?
Selain itu, pangsa pasar 250 juta ini juga menggiurkan bagi negara lain. Saya pernah bertemu orang Vietnam di Bangkok, pengekspor ikan ke Indonesia. Lah, lautnya aja dimana yak. Nah, ikan yang masuk ke Indonesia dari negara lain juga belum tentu memenuhi standar keamanan, karena lemahnya pengawasan keamanan ikan di Indonesia.
Memang ikan yang ber-SNI juga beredar di Indonesia. Tetapi darimana konsumen tahu mana yang ber-SNI atau tidak? Bahkan peredarannyapun sempat disebutkan, paling hanya di ritel modern. Terus yang pasar tradisional bagaimana? Di pasar tradisional yang paling dekat dengan laut saja, Jakarta Utara, masih ditemukan ikan berformalin di 4 pasarnya.
Kesulitan terbesar bagi kesegaran produk ikan sampai ke pasar tradisional adalah tidak adanya rantai dingin (cold chain) dari sentra produksi hingga ke tempat penjualannya. Bahkan pasar tradisional Indonesia pun belum dilengkapi oleh rantai dingin ini.
Ikan adalah salah satu nutrisi yang sangat penting untuk kecerdasan otak dan pertumbuhan badan. Tetapi walaupun negara kepulauan, konsumsi perkapita ikan di Indonesia sangat rendah, terendah di semua negara ASEAN. Dan saya kaget, ketika bapak yang memberi kata sambutan, Dirjen Pengolahan & Pemasaran Hasil Perikanan, Saut Hutagalung menyatakan, bahwa secara IQ dan tinggi badan, Indonesia juga paling rendah diantara sesama negara ASEAN, kecuali Myanmar dan Vietnam. Kecerdasan loh, penting banget kan, kalau fokus pembangunan adalah memang ke manusia.
Sekarang ini, dengan gebrakan Bu Susi, seperti menangkap kapal asing, termasuk nelayan asing yang masuk ke perairan Indonesia, diharapkan produksi ikan Indonesia akan meningkat. Saya pernah membaca secuil pengakuan nelayan yang menyatakan bagaimana produksi ikan mereka sekarang melimpah.
Nah, kalau sudah melimpah, apakah di sentra perikanan itu ada treatment untuk menjaga kesegaran ikan, tanpa memakai pengawet? Tanpa formalin? Begitu juga ketika sudah dibawa ke pasar tradisional. Bagaimana rantai distribusinya, apakah menggunakan pendingin? Bu Susi tentu lebih tahu, bagaimana jalan yang paling efisien untuk menjaga kesegaran ikan tersebut hingga pasar tradisional.
Ya sudah gitu aja, Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H