Penulis buku ini juga bukanlah orang sembarangan. Di masa mudanya, ia telah bergabung dengan banyak kelompok Islam transnasional seperti Jemaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Di organisasi-organisasi tersebut, ia selalu diamanahi sebagai orang nomor satu, baik di tingkat kampus bahkan provinsi. Perjalanan hiduplah yang kemudian menuntunnya untuk kembali ke pangkuan Islam tradisionalis dan berjuang bersama di bawah panji Nahdlatul Ulama.
Lewat buku ini, Ayik sejatinya ingin menegaskan bahwa tak berdosa seseorang yang menjadi Indonesia dan dengan lantang berteriak bahwa cinta tanah air bagian dari iman. Bagi pria yang kini menjabat sebagai ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Bandung ini, Indonesia dalam perspektif syariat tergolong ke dalam negara pertengahan (wasathiyah).  Ia berada di antara antiformalitas agama seperti negara komunis ala PKI dan ultraformalitas agama seperti khilafah ala HTI (hal. 71).
Produk hukum yang dihasilkannya pun telah sesuai dengan syariat Islam. Sila pertama pada Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar pemerintah selaku pihak yang berwenang (shahibul shalahiyah) dalam melakukan ijtihad pengambilan kebijakan. Ketidaksetujuan dan ketidakpuasan kaum radikal terhadap ijtihad politik pemerintah, tidak berpengaruh terhadap keabsahan ijtihad tersebut. Artinya kedudukan syar’i pemerintah sebagai Ulil Amri yang wajib ditaati, tetap kokoh (hal. 72).
Peraturan yang berlaku di Indonesia juga sudah sesuai dengan maksud dan tujuan (maqashid) syariat. Maqashid al-syaria’ah menjadi tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.Â
Penyimpangan penguasalah yang menyebabkan maqashid al-syari’ah itu tak kunjung tercapai. Letak permasalahan NKRI pada oknum penyelenggara negara bukan pada konstitusi dan dasar negaranya (hal. 11). Pada kasus tertentu, maqashid al-syariat justru tercapai dengan cara-cara penerapan syariat secara nonformal seperti pada masa khalifah Umar bin Khattab.
Satu hal yang menarik dari buku ini adalah keberanian dan kepiawaian sang penulis dalam mengungkap fakta. Meski ia pernah bergabung dalam gerbong organisasi Hizbut Tahrir Indonesia, ia tak segan mengecapnya sebagai khawarij yang telah menjadi agen radikalisme serta merusak sendi-sendi dalam bernegara. Sematan tersebut sungguh beralasan mengingat secara keagamaan dan kenegaraan, HTI telah keluar dari pakem dan kelaziman pendapat mayoritas Muslim dunia (hal. Vi)
Tak cukup sampai disitu, penulis kelahiran Pangkalpinang ini juga membuka kedok kebobrokan sistem khilafah yang diperjuangkan oleh kaum salafis radikalis. Usut punya usut, ternyata khilafah ala minhajin nubuwwah yang mereka gembar-gemborkan tak memiliki landasan yang legal baik dari segi hukum Islam maupun hukum tata negara. lalu pertanyaannya sekarang, lebih haram mana antara menjadi Indonesia dan menjadi pengikut penjuang negara khilafah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H