Andi Ilham Paulangi
Problem komunikasi politik masa orde baru, adalah  kurangnya kebebasan  berpendapat di ruang publik, termasuk media massa. Bahkan melawak pun bisa kena cekal bila dianggap mengganggu. Media pun tak boleh memuat tulisan yang secara eksplisit melawan penguasa. Masa itu, beberapa media ditutup alias dibreidel.
Sekarang, masyarakat lebih bebas berekspresi di ruang publik. Media bebas memuat apapun asal siap menanggung resiko tuntutan hukum.Â
Batasan ekpresi dan toleransi adalah keberatan pihak lain yang merasa dirugikan. Itu pun kalau ada yang keberatan. Nyatanya, memang beberapa  orang  sempat melapor, tapi kemungkinan besar, lebih banyak yang cuma membiarkan .
Kebebasan di ruang publik tersebut, bukan saja karena perubahan paradigma politik yang lebih terbuka, Â tetapi juga merupakan pengaruh dari kemajuan teknologi digital.Â
Dewasa ini, begitu mudah membuat flatform digital atau media. Secara teknis sangat mudah, tinggal berhitung biaya. Akses media juga dipermudah dengan kehadiran flatform media sosial seperti twitter, facebook, instagram, youtube, Â wahtsapp, petisi online, blog, dsb.Â
Hal ini semakin mempermudah para  natizen untuk memposting karya dan bentuk ekpresinya. Tersedia ruang publik yang luas, yang memungkinkan peserta diskursus berinteraksi dengan lebih leluasa.
Sehingga, problem mutakhir, Â bukan lagi pada ketersediaan dan akses terhadap ruang berekspresi, Â tetapi lebih kepada seberapa sehat ruang publik (public sphere) kita saat ini. Secara umum, memang kebebasan berekspresi saat ini sudah cukup demokratis. Tetapi tantangan kedepannya, Â adalah problem etika diskursus.
Dunia kehidupan saat ini sangat interaktif sekaligus sangat diskurif. Seperti biasanya, interaksi dan komunkasi yang diskursif cenderung mengalami problem etis, para peserta komunikasi cenderung lebih  offensif, merasa paling  benar, dan bicara semaunya.
Para pemiliki akun media sosial, Â yang sering digelari natizen, seringkali saling menyerang pribadi dan berbicara isu sensitif. Memprosuksi dan menyebarkan informasi hoax, Â berita palsu, ujaran kebencian, dsb. Memproduksi berita tanpa ricek dan sengaja mambuat framing yang merugikan pihak lain.
Bentuk-bentuk komunikasi seperti ini jelas tak efektif dan tidak dapat  mencapai tujuan komunikasi.Tidak dapat melahirkan pencerahan dan menciptakan konsensus.