Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses social antara dua orang atau lebih (atau juga kelompok) yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Lewis A. Coser berpendapat bahwa konflik adalah sebuah perjuangan mengenai nilai atau tuntutan atas status, kekuasaan, dan sumber daya yang bersifat langka dengan maksud menetralkan, mencederai atau melenyapkan lawan.
Gillin dan Gillin melihat konflik sebagai bagian dari proses interaksi social manusia yang saling berlawanan (oppositional process). Artinya, konflik adalah bagian dari sebuah proses interaksi social yang terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan fisik, emosi, kebudayaan, dan perilaku.
Konflik lahir dari kenyataan adanya perbedaan-perbedaan, misalnya perbedaan cirri badaniah, emosi, kebudayaan, kebutuhan, kepentingan, atau pola-pola perilaku antarindividu atau kelompok dalam masyarakat. Menurut Dahendorf, masyarakat terdiri atas organisasi-organisasi yang didasarkan pada kekuasaan atau wewenang. Kekuasaan adalah dominasi satu pihak atas pihak lain berdasarkan paksaan, sedangkan wewenang adalah dominasi yang diterima dan diakui oleh pihak yang yang didominasi.
Kepentingan yang berbeda antara kedua belah pihak berbeda dalam asosiasi-asosiasi tersebut akan menimbulkan polarisasi dan konflik antara dua kelompok. Sebagai contoh, pihak penguasa berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan pihak yang dikuasai berkepentingan untuk memperoleh kekuasaan. Keberhasian kelompok yang dikuasai untuk merebut kekuasaan akan menyebabkan terjadinya perubahan social.
Perbedaan-perbedaan itu memuncak menjadi konflik ketika system social masyarakatnya tidak dapat mengakomodasi perbedaan-perbedaan tersebut. Hal itu mendorong masing-masing individuate kelompok untuk saling menghancurkan. Dalam hal ini, Soejono Soekanto mengatakan bahwa “perasaan” memegang peranan penting dalam mempertajam perbedan-perbedaan tersebut. Perasaan-perasaan seperti, amarah, benci, mendorong masing-masing pihak untuk menekan atau menghancurkan individu atau kelompok lawan.
Yaaah, itulah konflik, dimana dengan keberadaannya tersebut sering kali membuat semua orang menjadi resah. Seperti halnya keadaan Indonesia saat ini, dimana-mana banyak kita jumpai konflik. Seperti yang umum dibicarakan saat ini seperti korupsi, yang tadinya adalah hal yang tabu tetapi sekarang menjadi hal yang lumrah untuk diperbincangkan.
Dan belum lagi yang terjadi disekitar kita, seperti dalam sebuah perjalananku beberapa waktu yang lalu, aku mengendarai angkutan umum antar kota, aku menjumpai kisruh antara dua orang dan kelompok, benar-benar membuatku takut. Konflik dipicu karena kesalahfahaman, dan suasana yang ramai dan padat membuat konflik menjadi semakin memuncak dan akhirnya semuanya diserahkan kepihak berwajib. Sungguh miris melihat hal yang seperti itu.
Konflik tentunya sudah mendarah daging dan tidak bisa lepas dan yang namanya sebuah kehidupan. Tugas kita sekarang adalah memanage konflik dan menghadapinya dengan bijak, mencari solusi terbaik, dan mengambil hikmah dari semua itu.
Referensi : Maryati Kun, Sosiologi, Erlangga: 2006
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H