Ini cerita dari seorang teman kuliah....
Tetangganya adalah seorang guru TK. Dimana guru TK tersebut mengajar, ternyata ada salah satu muridnya yang bernama Dwi. Guru TK tersebut bingung sekali, entah apa yang harus ia lakukan, di satu sisi ia ingin menemani sang bocah, di sisi lain, seluruh orang tua murid TK itu sepakat agar si Dwi dikeluarkan dari sekolah. Keseharian Dwi biasa dan terkesan sangat sederhana. Karena seluruh teman-temannya di sekolah tidak ada yang bergaul dan mau berteman bahkan berbicara dengannya, maka guru TK tersebut sangat kasihan melihat muridnya diperlakukan demikian. Maka Dwi yang cerdas itu selalu menjauh dari kerumunan teman-temannya.
Sungguh tidak adil. Bagaimana seorang bocah dijauhkan hanya karena sebuah kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Guru itu tak sanggup berbuat apa. Akhirnya sang guru itu memutuskan untuk mengambil keputusan dengan cara menyepakati kesepakatan dengan orang tua para murid.
Guru yang tidak tahu harus berbuat apa, itu akhirnya mendatangi rumah Dwi yang hanya tinggal dengan neneknya seorang. Tidak ada orang lain. Ayah dan ibu Dwi sudah meninggal hanya karena nasib buruk yang mendekatinya, dan kesalahan fatal yang entah disadarai atau tidak. Guru itu seakan tak sanggup menyampaikan sesuatu ketika sampai di rumah Dwi. Tapi akhirnya ia memberanikan diri.
“Begini,Nek. Sebenarnya saya tidak sanggup mengatakan ini, namun. Bagaimanapun juga saya harus mengatakannya.” Ungkap bu guru itu dengan sangat berhati-hati.
“Ada apa?” tanya sang Nenek penasaran.
“Maafkan saya, saya hanya mengusulkan, apa tidak sebaiknya Dwi dipindahkan sekolah saja. Sekolah kami tidak bisa menerima Dwi lagi untuk belajar di sana. Mengingat seluruh orang tua mengusulkan seperti itu. orang tua juga khawatir bila anak mereka mengalami nasib yang sama karena cucu nenek.” guru itu akhirnya mengungkapkannya. Ada perasaan lega, namun banyak lagi perasaan bersalah.
“Tidak bisakah cucuku tetap belajar di sana. Kalian tidak bisa merasakan apa yang dirasakan cucuku. Dia itu korban!” nenek itu sudah menangkap maksud pembicaraan guru.
“Tapi, sungguh ini semua demi kebaikan kita, Nek!”
“Saya tahu.. tapi kenapa kalian tidak memberi cucuku kesempatan. cucuku tidak berbuat apapun. Dia tidak akan mengganggu siapapun asal kalian memberikan satu bangku untuk dia duduk dan belajar di sekolah kalian!” Nenek itu mulai menangis. Ia tak kuasa, mengapa nasib ini menimpa cucunya.
“Bagaimana kalau Dwi di sekolahkan di tempat yang menampung anak-anak seperti Dwi?”
“Aku mohon.. cucuku senang bersekolah di sana meskipun teman-temannya seperti itu. Dia hanya ingin belajar, itu saja.” Ibu guru itu tidak sanggup berkata-kata. Ia ingin tetap mempertahankan Dwi, namun keputusan sekolah sudah bulat.
***
Keesokan harinya, Dwi sudah tidak lagi nampak di sekolah. Ternyata ia mendengar semua pembicaraan guru TK-nya dan sang nenek. Tak hanya itu, dia pun tak pernah keluar rumah, melihat luar rumah hanya mengintip dari jendela.
“Dwi, kenapa tidak maen-maen di luar saja?” tanya nenek suatu ketika.
“Tidak usah. Saya akan menyebarkan penyakit, saya akan digunjing dan dianggap kotor. Saya anak AIDS yang pantas dijauhkan!” sahut Dwi lantang.
Sontak sang nenek terkejut, ia miris mendengar celoteh cucunya yang masih berumur enam tahun itu. Bagaimana mungkin anak sekecil itu harus menanggung beban mental yang sedemikian besar akibat kelalaian orang tuanya.
***
Diatas adalah cuplikan kisah nyata dari seorang teman. Sangat menyedihkan melihat seorang bocah yang seharusnya bisa bermain-main, menikmati masa-masanya dengan canda tawa tanpa beban, kini malah harus ia habiskan untuk merenungi nasibnya yang belum jelas apakah ia masih bisa bertahan di esok hari atau tidak.
Menyedihkan jika akhirnya ia dikucilkan oleh masyarakat atas kelalaian orang tuanya yang ia sendiri pun tak pernah menginginkan. Kalau saja ia bisa memilih sebelum hidup di dunia dengan tawaran ujian seperti ini, mungkin ia lebih memilih untuk tidak pernah dilahirkan sama sekali.
Apalah daya, Tuhanlah penentu segalanya. Manusia hanya bisa berpasrah dan berusaha menjadi sebaik-baiknya manusia. Begitu pula dengan Dwi kecil, dia hanya berusaha tetap tersenyum meski di dalam kepahitan. Ia tahu benar apa yang ia alami di usia yang terlalu dini. Ia lebih bermoral tinggi daripada dengan mereka yang waras. Ia lebih sadar diri untuk menjauh dan pergi daripada hidup dalam gunjingan yang tak ada habisnya.
Ia bocah kecil yang suci meski ada sesuatu yang menyedihkan di sana. Namun sesuatu yang menyedihkan itu benar-benar hilang, suatu kehinaan yang diklaimkan orang-orang pudar. Justru orang-orang itulah yang hina, memperlakukan seorang anak manusia yang tak berdosa dan tak bersalah dengan cacian secara sadar. Padahal sebenarnya mereka yang telah mencaci adalah sedang mencaci diri sendiri.
Penderita AIDS bukan seharusnya untuk dijauhi. Bergaul, berpelukan bahkan bersin pun AIDS tidak akan menular. ODA(Orang Dengan AIDS) seharusnya di kelilingi agar semangat untuk melawan sakitnya dan terus berjuang. Setiap obat dari sakit terdapat dalam diri masing-masing. Akan semakin banyak ODA apabila satu penderita ODA semakin dijauhi. Dari mental dijauhi itulah yang akan menyebabkannya memendam dendam untuk menyebarkan apa yang ia deritakan. Ingatlah banyak kasus tentang penyebaran virus AIDS oleh penderita AIDS dengan berbagai cara akibat dari masyarakat yang dengan cara hina menyambutnya.
ODA, mereka bukan musuh yang seharusnya dihindari bahkan dimusnahkan. ODA hanyalah korban. Yang sepatutnya dihindari dan dihancurkan adalah HIV AIDS bukan ODA itu sendiri. Sebagai manusia yang dikarunia akal dan pekerti seharusnya kita tidak memikirkan bagaimana penyakit itu kalau menulari kita. tapi bagaimana seharusnya kita memikirkan agar masa depan mereka sama dan membanggakan seperti anak-anak yang lain meskipun tidak ada yang tahu sampai kapan ia akan bertahan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H