[caption caption="Seorang pelatih sedang mengajari tata cara baris berbaris kepada kader bela negara Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Rindam VII Wirabuana, Pakkatto, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Selasa (24/11/2015). Diklat bela negara adalah upaya untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air. "][/caption]Pertahanan negara dari berbagai ancaman tidak hanya melalui kekuatan militer. Kini, rakyat juga menjadi basis kekuatan bangsa. Rakyat, dalam hal ini, berpartisipasi dalam pertahanan negara secara fisik maupun non-fisik. Pada hakikatnya, kekuatan rakyat bukan hanya tertuju pada kekuatan fisik, namun juga non fisik, berupa kecintaan pada bangsa dan negara.
Menurut Menteri Pertahanan Ryamizar Ryacudu, kekuatan rekayat bukan fisik semata, tetapi juga berupa kecintaan rakyat kepada bangsanya. Itulah yang disebut bela negara. Demikian diucapkan Ryamizard Ryacudu dalam Rakor Pertahanan Negara 2015 di Jakarta, seperti dikutip Kompas, Jumat (4/12/2015).
Bentuk ancaman riil yang bangsa hadapi saat ini diantaranya maraknya peredaran narkoba, seks bebas, bencana alam, perang siber, radikalisme, dan terorisme. Dengan adanya ancaman ini, dibutuhkan kesiapan segenap komponen bangsa. Termasuk rakyat di dalamnya. Karenanya, dibutuhkan kesadaran dan kecintaan yang kuat untuk membela negara. Sebab tanpa sikap mental kecintaan pada tanah air, maka mustahil muncul kemauan membela negara.
Bela negara, diawali dengan munculnya rasa cinta tanah air di dalam sanubari setiap anak bangsa. Ihwal rasa kebangsaan, berkaitan dengan ikatan emosi yang kuat antara negara dengan rakyat. Selanjutnya, meningkat pada fase paham kebangsaan. Fase ini berhubungan dengan pendidikan kebangsaan yang meliputi pengetahuan dan visi kebangsaan.
Pada tingkatan berikutnya, paham bela negara bertransformasi menjadi semangat bela negara. Fase ini berkenaan dengan upaya memberikan keteladanan keteladanan, militansi, cinta tanah air, bela negara, tidak kenal menyerah, rela berkorban, bangga terhadap bangsa, dan sesama warga negara saling memajukan.
Perlu disadari, tantangan yang Indonesia hadapi saat ini adalah proxy war (perang proksi). Perang proksi bukanlah perang secara head to head. Akan tetapi perang proksi ialah perang yang terjadi ketika lawan kekuatan menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti berperang. dalam hal ini, tidak terlihat siapa lawan atau kawan. Aktor perang proksi adalah non-state, namun dikendalikan oleh state.
Bentuk nyata perang proksi sudah di depan mata. Kasus tawuran antar kelompok masyarakat, maraknya seks bebas, dan penyalahgunaan narkoba adalah bukti perang proxy benar-benar terjadi. Lalu, sebenarnya apa yang melatarbelakangi Indonesia menghadapi ancaman perang proxy ini? Indonesia dikenal sebagai negara khatulistiwa yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) melimpah.
Dilain sisi, dimasa mendatang, negara-negara lain di dunia akan mengalami defisit energi. Akibatnya, dapat ditebak, Indonesia akan menjadi negara tumpuan untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut. Kekayaan Indonesia begitu menggiurkan dimata asing. Sehubungan dengan hal tersebut, tak dapat dipungkiri, sudah saatnya semua elemen bangsa bahu membahu dalam upaya pertahanan negara.
Setiap individu yang tinggal di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hendaknya menjadi agen perubahan (agent of change) yang mempunyai sikap tanggungjawab (sense of responsibility). Disamping itu, hendaknya tertanam di setiap diri warga Indonesia, rasa memiliki (sense of belonging) untuk memajukan dan membangun bangsa sehingga tercipta masyarakat yang madani (civil society).
Disinilah urgensi pendidikan dan pelatihan bela negara. Sebab itu, program diklat bela negara yang Kementerian Pertahanan (Kemenhan) gagas dipandang tepat. Hal ini sebenarnya bukanlah bentuk militerisasi. Namun, lebih pada usaha menumbuhkan rasa cinta tanah air di sanubari setiap warga Indonesia. (Ilmaddin Husain)
Kab. Gowa, Minggu (6/11/2015)