Mohon tunggu...
Ilma Alyani
Ilma Alyani Mohon Tunggu... -

Mahasiswa FT UI, @ilmaalya , ilmaalya.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Freeport, Dilema Tanah Papua

15 April 2014   22:16 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:38 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Siapa yang tak kenal nama Freeport? Perusahaan asal Amerika Serikat ini akrab di telinga kita atas kegiatan eksplorasi tambangnya di tanah Papua. PT. Freeport Indonesia (PTFI) sudah mulai beroperasi sejak Desember 1967, setelah Kontrak Karya I ditandatangani pada bulan April di tahun tersebut. Kontrak pertambangan ini kemudian diperpanjang di tahun 1991. Dengan disepakatinya Kontrak Karya II maka PTFI mendapatkan hak untuk meneruskan operasi penambangannya selama 30 tahun, serta kemungkinan perpanjangan 2×20 tahun, yang berarti baru akan berakhir di tahun 2041.

Dalam lebih dari 40 tahun perjalanannya, PT. Freeport Indonesia telah menambang emas (Au), tembaga (Cu), dan perak (Ag). Awalnya, royalti yang dikenakan terhadap PTFI hanya untuk hasil penambangan tembaga, setelah Kontrak Karya II diberlakukan baru dikenakan royalty terhadap emas dan perak. Royalti yang dibayarkan oleh PTFI kepada Pemerintah Indonesia adalah sejumlah 1%. Angka inilah yang sering disalahartikan oleh banyak kalangan, bahwa hanya ‘sekecil’ itu pembayaran yang diterima negara dari hasil tambang Freeport. Namun pada kenyataannya PTFI tidak hanya membayar royalti, tapi juga ada deviden, pajak, dan nonpajak lainnya. Jika dijumlahkan, setoran PTFI terhadap negara sebanding dengan 37% dari produksi emas yang dikeruknya.

Selama ini PT. Freeport Indonesia mengekspor mentah sebagian besar hasil tambangnya. Hal ini disebabkan smelter di Gresik hanya berkapasitas untuk mengolah 30% dari seluruh produksi Freeport. Sementara untuk pengolahan hanya sebesar 20%, itupun hanya tembaga. Untuk emas, PTFI sama sekali tidak melakukan pemurnian. Karena sebagian besar hasil tambang diekspor mentah untuk diolah di luar inilah yang menjadikan sulit untuk memperkirakan berapa banyak sesungguhnya keuntungan dari produksi tambang Freeport.

Berkaitan dengan ini, pemerintah melalui UU Minerba dan PP No. 1 tahun 2014 melarang ekspor tembaga dalam bentuk raw material (bahan mentah). Permen ESDM No. 20 tahun 2013 pada awalnya mengatur bahwa konsentrat tembaga yang boleh diekspor harus memiliki kadar minimal Cu sebesar 99.9%. Namun dalam perjalanannya, Permen ESDM ini direvisi sehingga konsentrat tembaga yang boleh diekspor turun lebih dari 80%. Dalam peraturan baru disebutkan kadar konsentrat tembaga yang boleh diekspor harus memiliki kadar Cu sedikitnya 15%. Penurunan kadar ini dinilai banyak kalangan menguntungkan Freeport dan pemegang izin usaha pertambangan lainnya karena mereka dapat lolos dari larangan ekspor.

Terlepas dari perubahan peraturan ini, UU Minerba yang mulai diberlakukan sejak 12 Januari 2014 ini sejatinya sangat pro nasional. Selain larangan ekspor bahan mentah, UU ini juga mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter dan mengatur kenaikan pajak ekspor produk tambang olahan. Kenaikan pajak ekspor ditetapkan sebesar 60%, dilakukan secara bertahap hingga akhir tahun 2016.

Pemberlakuan UU Minerba ini mendapat reaksi yang keras dari perusahaan-perusahaan tambang di Indonesia. PT. Freeport Indonesia sendiri merujuk ke kontrak karya, bahwa pemerintah wajib melindungi perusahaan asing dari regulasi UU nasional sesuai UUPMA 1967. Hal ini menyebabkan UU Minerba dikesampingkan lalu PTFI dan Pemerintah pun melakukan negosiasi ulang. Beberapa keinginan PTFI antara lain agar Freeport mengantongi izin ekspor barang hasil pertambangan sebelum bisa membangun smelter. Selain itu Freeport juga tetap ingin mengekspor dalam bentuk konsentrat, dengan konsekuensi dikenakan bea keluar yang tinggi dan terus meningkat setiap tahunnya. Karenanya mereka meminta keringanan pajak yang diterapkan oleh Menteri Keuangan. Jika tidak dituruti, Freeport menebarkan berbagai gertakannya. Dari mengancam akan PHK 30 ribu karyawan, penutupan tambang, hingga membawa masalah ini ke meja hijau.

Di sisi lain, agaknya sulit bagi pemerintah Indonesia untuk tegas terhadap PT. Freeport Indonesia, sebab Indonesia adalah anggota Multilateral Investment Guarantee Agreement (MIGA). Sebagai anggota MIGA, Indonesia wajib mendepositkan uang dalam jumlah yang sangat besar sebagai jaminan bahwa bila terjadi sengketa investasi dan hasil sengketa tersebut memenangkan pihak investor maka investor berhak atas uang tersebut bila Pemerintah Indonesia tidak bersedia membayar. Pemerintah telah mengecap pengalaman buruk saat proses arbitrase kasus kerjasama Pertamina dengan Karaha Bodas Company. Kekalahan yang dialami saat itu membuat pemerintah akan berpikir ulang untuk memproses masalah ini ke meja hijau, apalagi karena kerjasama dengan PTFI ini terikat dengan kontrak karya.

Tanah Papua sudah menanggung banyak dilema. Meski Freeport mengklaim telah berkontribusi banyak bagi negara, tak tampak benar dampaknya bagi masyarakat setempat. Berbagai masalah berderet menunggu diselesaikan. Kerusakan lingkungan yang tidak bisa diabaikan, baik pencemaran sungai sampai kerusakan permanen di hutan sekitar lokasi tambang. Kehidupan masyarakat lokal juga terancam karena PTFI mengusir bahkan menembak jika warga mendekati area pertambangan, sekalipun mereka hanya mencari hasil hutan di sana. Selain itu, sejatinya negara hanya mendapatkan tidak lebih dari 10% dari keuntungan yang didapatkan oleh PTFI, hal ini karena PTFI melakukan pemurnian di negara asalnya. Belum lagi dampak sosial yang ditimbulkan, ketika kesejahteraan hanya dinikmati oleh kalangan elit, sementara sebagian besar penduduk tanah ini tetap hidup dalam kemiskinan.

Sampai saat ini, negosiasi ulang dengan PT. Freeport Indonesia belum juga membuahkan hasil yang signifikan. PTFI hingga detik ini masih meraup keuntungan tak terkira dari kekayaan bumi Papua. Pertanyaan besar yang menggantung di benak kita semua: 1) Sanggupkah pemerintah menjinakkan ‘monster’ asal Amerika Serikat itu?; 2) Apakah orang Papua ikut bahagia dengan adanya perusahaan raksasa yang membolong-bolongi tanah mereka sedemikian rupa?

***

Hasil dari Grup Diskusi Energi dan Lingkungan (FC 3), Forum Indonesia Muda

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun