Kita semua tahu sampah adalah masalah yang berlarut-larut di negara ini, bahkan di hampir setiap tempat di dunia. Di Indonesia, terdapat sekitar 73 juta ton sampah setiap tahunnya[1]. Jumlah ini sejatinya sangat besar untuk dimanfaatkan. Di Malang, sekelompok pemuda menjalankan program kreatif untuk mengelola sampah berupa Garbage Clinical Insurance (Klinik Asuransi Sampah)
Klinik Asuransi Sampah berangkat dari keprihatinan terhadap Khaerunisa, anak seorang pemulung yang menderita diare namun orang tuanya tidak punya uang untuk berobat, hingga akhirnya di Hari Lingkungan Hidup Khaerunisa meninggal dunia di gerobak sampah. Ketika didirikan, prinsip Klinik Asuransi Sampah ini adalah untuk bisa mengumpulkan sumber daya yang terbuang, dalam hal ini sampah, menjadi sesuatu yang bermanfaat dan dikembalikan sebagai akses kesehatan. Sampah yang ada diolah untuk dijadikan dana sehat, dengan dipoles social enterpreneur, project lalu dijadikan bisnis yang berkelanjutan.
Perjuangan mencari stakeholder untuk mendukung program ini cukup panjang. Awalnya sempat ‘diabaikan’ oleh dinas kesehatan setempat. Setelah perjalanan panjang dan akhirnya mendapat Prince of Wales Young Sustainability Entrepreneur Prize[2], barulah jalan terbuka semakin lebar. Hingga saat ini, GCI telah mendapat dukungan dari Kementrian Kesehatan, Kementrian Pemuda dan Olahraga, dan Kementrian Lingkungan Hidup. Untuk membantu pengembangan riset dan penelitian, dilakukan kerjasama dengan Universitas Brawijaya, Universitas Gadjah Mada, Universitas Muhammadiyah Malang, dan University of Cambridge. GCI juga berkejasama dengan berbagai pihak swasta seperti Pertamina, Danone, dan CIMB. Sementara dengan organisasi sosial, dijalin hubungan dengan Kopernik, Ashoka, LGT, dan British Council.
Bagaimana jelasnya teknis pelaksanaan Klinik Asuransi Sampah ini? Pertama-tama, warga yang mendaftar menyetorkan sampah setiap bulannya. Jenis sampahnya macam-macam. Sampah ini dihargai sebesar Rp 10.000,00. Dari 1000 anggota yang ada, biasanya yang sakit sekitar 200 orang. Diasumsikan biaya pengobatan (rawat jalan) sebesar Rp 30.000,00. Maka dalam sebulan, profit GCI sekitar Rp 4.000.000,00, hasil dari pemasukan sampah Rp 10.000.000,00 (harga sampah dikali jumlah anggota) dikurangi pembiayaan kesehatan Rp 6.000.000,00 (biaya pengobatan dikali jumlah orang yang sakit). Ke depannya, akan dicoba untuk integrasi dengan BPJS agar dapat mengakses layanan rumah sakit.
Kemudian, bagaimana nasib sampah yang sudah dikumpulkan? Setelah dipilah, sampah bisa langsung dijual ke pengepul, pemulung, dan bank sampah. Sisanya dijadikan barang-barang kerajinan. Tim GCI melatih suatu komunitas ibu-ibu sehingga dapat membuat kerajinan dari sampah. Produk kerajinan ini kemudian dijual dan keuntungannya digunakan juga untuk pelayanan kesehatan. Untuk sampah organik, pengolahannya masih berjalan. Sampah dijadikan pupuk lalu rencananya dijual ke petani-petani sekitar.
Di Kabupaten Bandung, pola yang dilakukan agak berbeda. Di Ciwidey, ada 700 kepala keluarga (KK) yang berprofesi sebagai peternak. Mereka membuang kotoran sapi ke sungai setiap harinya. Bekerja sama dengan koperasi yang mengumpulkan susu sapi, tim GCI lalu membuat sistem agar kotoran sapi yang ada dibuat menjadi pupuk, kemudian dijual. Sampai saat ini masih dicari jaringan untuk pemasaran pupuknya.
Tidak ada usaha yang sepenuhnya lepas dari masalah. Seperti sistem pengelolaan sampah lainnya, masalah terbesar dalam program ini adalah pemilahan sampah. Dulu GCI sempat membagikan keranjang takakura ke setiap KK agar selain dipilah, sampah organik yang masuk ke keranjang bisa langsung diproses menjadi kompos. Sayangnya warga kurang telaten sehingga akhirnya pun terlantar.
Hingga hari ini, selain di Malang, Klinik Asuransi Sampah telah sukses direplikasi di Jogjakarta dan Bandung. Untuk selanjutnya, sedang direncakan replikasi di Bali. Harapannya program ini dapat menjadi asuransi nasional berbasis sampah. Jika teman-teman tertarik untuk ikut ambil bagian, silakan kirim e-mail ke indonesiamedika@gmail.com. Jenis replikasi bermacam-macam, disesuaikan dengan kondisi setempat.
Pengelolaan sampah memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Butuh tim yang solid, gunakan strategi yang tepat, letakkan konsep sociopreneur, dan cari dukungan stakeholder strategis. Untuk menjaganya agar tetap berlanjut, butuh profit dan manfaat yang kontinyu serta pengembangan yang terus-menerus. Karena berkaitan dengan masyarakat luas, tentu diperlukan kesabaran yang besar pula dalam menjalankannya. Seperti yang dikatakan oleh Gamal Albinsaid, pendiri program ini, “Kesabaran adalah kunci sejauh apa kebaikan akan bertahan.”
Klinik Asuransi Sampah adalah satu dari banyak cara kreatif yang dapat dilakukan untuk ikut membantu mengatasi masalah sampah. Istimewanya, seperti yang diucapkan Pangeran Charles saat memberikan penghargaan untuk program ini, ide Klinik Asuransi Sampah ini menangani 2 masalah pada saat bersamaan, yaitu sampah dan kesehatan. Ikut serta dalam pengelolaan sampah mengajarkan manusia untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dihasilkannya. Bagi mereka yang terdidik, kesadaran untuk menjadikan sampah sebagai urusan pribadi harusnya telah tertanam. Kewajiban selajutnya adalah menularkan perilaku sadar lingkungan ke sekitarnya, demi masa depan bumi dan generasi selanjutnya.
[1] http://health.liputan6.com/read/822878/duh-sampah-di-indonesia-capai-200-ton-per-hari
***
Hasil dari Grup Diskusi Energi dan Lingkungan (FC 3), Forum Indonesia Muda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H