Hari ini Arina, Si Bontot, ultah. Dan pertanyaan pertama, seperti biasa, "Arina mau kue apa?". Jawab Arina, "Green Velvet!" Waduh, apa pula itu? Ternyata, "Green Velvet Cake" adalah edisi terkini kue bergenre cerah ceria, setelah rainbow cake dan red velvet cake. Genre kue cerah ceria belum lama populer di negeri kita, barangkali baru setahun dua tahun terakhir, namun peminat dan atensinya luar biasa. Dari segi rasa ya biasa-biasa saja, tapi warnanya yang nge-jreng habis menyedot selera masyarakat, terutama yang berjiwa muda, dan tentu saja anak-anak. Manusia adalah makhluk visual bukan? Warnanya yang ceria membuat kue ber-genre rainbow sangat cocok ditampilkan dan dihidangkan pada acara2 celebration : ulang tahun, "jadian", pertunangan, valentine, tahun baru, dsb. Suasana yang seru makin seru; yang romantis terasa makin mengiris (kue). kalau melihat tampilannya, siapa yang tidak gemas untuk mencolek dan kemudian mencicipinya? Namun demikian, mari kita tengok ada apa di balik warna ceria kue-kue yang cantik dan menantang ini. Bahan pewarna makanan, secara umum ada dua golongan, yaitu yang alami dan bukan alami (buatan). Pewarna alami, misalnya karetonoid (bayangkan warna kuning dari wortel dan buah-buahan), klorofil (warna hijau daun pandan, daun suji), curcumin (kunyit), coklat dari coklat, dsb. Sejak jaman dulu moyang kita sudah menggunakan pewarna alami untuk membuat pangan olahan, misalnya daun suji untuk klepon, kunyit untuk nasi kuning dan berbagai lauk dan sayur, dsb. Sedangkan pewarna sintetis dibuat secara kimia, misalnya : rhodamin merah, kuning tartrazin, dan allura red, fast green, dsb. Namun demikian, seiring dengan tumbuhnya populasi manusia, industrialisasi produk pangan besar-besaran, dan konsumerisme serta perkembangan selera masyarakat untuk mendapatkan warna-warna yang makin ceria, pewarna buatan akhirnya merambah produk pangan juga. Mengapa? Karena pewarna sintetik memberikan warna yang lebih kuat dan stabil, serta tidak meninggalkan rasa (ditambahkan hanya sedikit sekali). Rhodamin diam-diam ditambahkan ke terasi dan berbagai penganan, tartrazin di hampir seluruh minuman berwarna kuning, dan fast green pada kue-kue hijau, dsb. Di sisi lain, kita tahu bahwa kunyit akan terasa kunyitnya, wortel akan terasa wortelnya, dan daun suji meninggalkan rasa sujinya. Sementara pewarna buatan digunakan hanya sedikit (dan mudah didapat dengan harga sangat murah), pewarna alami makin sulit didapat, harus diproses dengan tahapan yang lebih rumit, serta menghasilkan warna yang kurang nge-jreng dan tidak stabil. Sifat dari pewarna alami, warnanya lebih soft, sayup-sayup sampai .... Jadi, mana yang mau kita pilih? Yang alami atau sintetis? Semua ada positif dan negatifnya. Yang alami kalem dan tidak stabil, kurang ceria, dan meninggalkan rasa/taste "tanaman", yang kata anak-anak sekarang : berasa jamu. Sedangkan pewarna buatan benar-benar membuat hidup lebih hidup! Namun dari sisi kesehatan, kita harus sangat waspada, pewarna sintesis pada umumnya adalah toksik/beracun. Efek toksik dari pewarna bisa akut (mendadak) maupun kronis. Keracunan pewarna dalam dosis tinggi bisa menyebabkan pusing, muntah, diare, dsb. Keracunan kronis lebih kepada efeknya terhadap gangguan hepar (hati), mutagenesis atau potensi menimbulkan kanker (karsinogenik), dan gangguan terhadap sistem saraf. Berbagai laporan ilmiah sudah membuktikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H