Mohon tunggu...
fransiscus xaverius probondaru
fransiscus xaverius probondaru Mohon Tunggu... Guru - bidang pendidikan dan penjaminan mutu

adventure | education | technology

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah: Oase Menyegarkan dalam Ruang Perjumpaan

17 Oktober 2023   11:58 Diperbarui: 17 Oktober 2023   12:03 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Menjadi guru bagi banyak orang merupakan tugas paling tinggi seorang manusia dalam hidupnya. Saya membaca nya dari sebuah buku karangan Andrias Harefa kurang lebih pada tahun 2000 an dengan judul Menjadi Manusia Pembelajar. Tentunya pernyataan ini bukanlah perkara yang mudah bagi banyak orang. Apakah semua orang harus mengajar di depan kelas? Atau bertepuk tangan dan menari-nari di hadapan anak-anak seperti guru TK? Atau bagaimana praktik yang dimaksud dalam pernyataan tersebut?

Saya sendiri tidak mempunyai latar belakang akademis di bidang pendidikan formal. Saya seorang lulusan sarjana Ekonomi yang senyatanya tidak mempelajari apa itu program pengajaran, teknik penyusunan silabus, metode mengajar atau bahkan mengikuti mata kuliah  tentang apa itu rubrik penilaian. Apa itu pedagogik pun waktu itu saya tidak memahami definisi praktisnya. Sering saya berkelakar, yang saya tahu padaguguk bukan pedagogik. Separuh hidup saya, pengalaman saya adalah menjadi produk pendidikan bukan sebagai produsen. Singkatnya, saya buta sebagai pengajar di dunia pendidikan formal. Beruntungnya, saya telah menjadi guru selama kurang lebih 14 tahun dan bahkan telah mengepalai unit dengan lebih dari 40 orang guru-guru hebat. Hidup telah membawa saya dari satu sisi ke sisi lainya dengan luar biasa. Berayun dalam proses pembelajaran yang tidak pernah selesai.

Sampai pada titik ini,  proses yang saya alami saat bergelut di dunia pendidikan, saya refleksikan sebagai askese untuk mencapai tugas tertinggi seorang manusia tersebut yakni menjadi guru. Guru bagi saya tidak hanya menjadi sebuah profesi belaka namun saya hayati sebagai tugas kehidupan. Realita yang paling menarik di dalam proses itu bagi saya, bahwa  pendidikan merupakan sebuah realita yang sangat kompleks. Sehingga tidak ada batasan yang memadai untuk menjelaskan pendidikan secara lengkap.  Aspek-aspek pendidikan tidak hanya terkait hubungan antara guru dan murid semata, tetapi ternyata pendidikan memang menjadi tempat pertemuan berbagai pihak dengan kebutuhan masing-masing. Realitas yang luar biasa dinamis. Aspek psikologis, sosiologis, kapital, reliogisitas, manajerial dan bahkan juga politik, bercampur dalam mangkuk pendidikan ini. Inilah yang membuat dunia pendidikan seringkali berada dalam situasi critical juncture. Dunia pendidikan terus menerus mencari ekulibriumnya yang baru. Disadari, bahwa tuntutan masyarakat akan produk pendidikan juga berperan menggeser (shifting) kemapanan praktek-praktek pendidikan yang sudah ada. Apalagi dalam situasi disrupsi yang didorong oleh perkembangan teknologi saat  ini, dunia pendidikan dituntut berubah oleh hasil produknya sendiri. Perkembangan teknologi di satu sisi merupakan keberhasilan dari pendidikan tetapi di sisi lain  malah menjadi cambuk yang kuat bagi pendidikan itu sendiri untuk berubah.

Realita-realita inilah yang seringkali membuat pelaku-pelaku di dunia pendidikan menghadapi kebingungan yang serius. Permasalahannya adalah, dunia pendidikan tidak mudah untuk berubah. Bukan karena tidak ingin berubah, tetapi juga sifat dari pendidikan itu sendiri yang membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk berubah. Pendidikan perlu pembuktian akan hasil dari proses mereka. Metode-metode dan berbagai teknik pengajaran coba diterapkan kepada para peserta didik. Jika profil lulusan dirasa tidak sesuai dengan dunia nyata, maka metode itupun bisa jadi akan dievaluasi atau dirubah. Tetapi sekali lagi, tidak dalam waktu yang singkat. Lalu, apa yang perlu dilakukan dalam kondisi tersebut?

Bersyukur, saya mendapatkan pencerahan yang diperoleh berasal dari permenungan dan dilanjutkan dengan diskusi filsafat pada kegiatan Kelompok Belajar Sekolah Basis beberapa waktu lalu. Bukan seperti menemukan harta karun, tetapi proses pembelajaran di Sekolah Basis merekatkan pengalaman-pengalaman praktek pendidikan yang telah dilakukan, diskusi-diskusi, dan juga permenungan pribadi ke dalam harapan untuk  dunia pendidikan saat ini.

Yang pertama, sekolah perlu disadari sebagai ruang pertemuan dari berbagai kebutuhan. Oleh karena itu, di dalam ruang pertemuan tersebut  haruslah terjadi proses yang terbuka dan saling membangun. Bukan hanya menjadi ruang dimana setiap orang hanya  mengambil sesuatu dari pihak lain ( hanya transfer pengetahuan misalnya), tetapi proses take and give yang setara. Menyadari bahwa setiap pihak mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menciptakan hidup yang lebih baik bagi orang lain. Guru menyadari tanggung jawab bahwa dengan proses pembelajaran yang direncanakan  bersama dengan muridnya. Membantu murid mencapai potensi unik nya yang terbaik. Murid pun merasa gembira dan merelakan dirinya untuk menyelami kekayan intelektual dan menemukan potensi  dirinya. Manajeman sekolah  juga memberikan kesempatan kepada guru untuk berkembang dan kreatif serta sejahtera dalam hidupnya. Orang tua  juga berkomitmen akan tanggung jawab mereka dan percaya kepada institusi sekolah untuk bersama-sama membangun proses pendidikan yang baik bagi putra-putrinya. Begitu pula tentunya dengan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Ini bisa dimungkinkan terjadi jika adanya pertemuan-pertemuan diskusi dan tentunya aksi bersama berbagai pihak untuk membahas secara sehat potensi dan permasalahan yang  terjadi dalam proses pendidikan.

Yang kedua, critical juncture  adalah sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan apalagi dalam situasi yang berubah. Maka, berfokus pada proses dinamika pengajaran di sekolah, kemampuan peserta didik dan juga guru-guru dalam menghadapi perubahan perlu diperkuat. Dalam memahami realita dan perubahannya, saya seringkali  dibantu oleh stoikisme. 

Ada askese di dalam stoikisme yang seringkali saya gunakan yakni premeditatio malorum. Secara singkat bisa diartikan sebagai persiapan untuk hal-hal yang terburuk yang bisa saja terjadi ( prepare for the worst). Apakah setelah disiapkan hal-hal terburuk tidak akan terjadi? Tentu tidak. Tetapi paling tidak, secara mental kita pun sudah siap. 

Kemampuan inilah yang masih terus saya pelajari dalam kehidupan saya sehari-hari terutama jika ada perubahan-perubahan baik yang tiba-tiba maupun yang diprogramkan. Jika di dalam sekolah diajarkan sekaligus dibiasakan tentang proses ini, kemungkinan dinamika perubahan dalam bentuk apapun dapat dihadapi dengan ketenangan untuk memikirkan, berdiskusi dan menjalankan solusi-solusi yang direncanakan.  Askese-askese yang diajarkan di dalam stoikisme sangat relevan untuk membentuk habitus yang dapat melatih guru dan murid menjadi manusia tangguh dan lincah ( adaptive and agile ) dalam menghadapi  perubahan-perubahan dunia.

Di dalam ruang ini, saya berharap  bahwa sekolah bukan dipandang sebagai sebuah tempat yang dibatasi oleh tembok-tembok yang dingin. Tetapi menjadi ruang komunikasi yang rasional, kritis dan emansipatoris. Seperti halnya Oase ditengah gersang nya padang gurun.  Oase ini Tempat bertemunya para musafir yang hendak melanjutkan perjalanan mereka. Tempat dimana setiap pelaku dapat mereguk kelegaan seperti musafir yang mendapatkan air untuk dminum. Sekolah menjadi tempat manusia membebasan dirinya yang terbelenggu oleh habitus mereka yang cenderung dehumanisasi  menjadi manusia seutuhnya. Membangun manusia seutuhnya harus menjadi misi utama pendidikan sehingga murid-murid dan para guru pun gembira untuk menyelami ilmu pengetahuan. Setiap pelaku pendidikan leluasa membangun hubungan yang manusiawi serta dapat berbincang-bincang sebagai bentuk tanggung jawab atas keadaan sosial seperti yang dicita-citakan oleh Habermas. Banyak hal yang pastinya bisa didalami lebih lanjut tentang dunia pendidikan dari aspek-aspek yang lain. Menarik untuk berdiskusi lebih lanjut dalam prespektif politik, religiositas pendidikan atau psikologi pendidikan tentunya. Jika setiap pelaku pendidikan, bahkan murid sekalipun, dapat berbincang dan bertanggung jawab untuk mengusahakan yang baik terhadap kondisi sekolah dan terlibat dalam kehidupan bermasyarakat, bukankah kita semua bisa menjalankan tugas tertinggi seorang manusia, yakni menjadi guru?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun