Mohon tunggu...
illa Suhaila
illa Suhaila Mohon Tunggu... -

Tak kan pernah ada kata "terlambat" untuk memulai.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Induk Semang

25 Maret 2012   09:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:30 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam di monitor laptopku udah menunjukkan pukul 00:39 WIB sama dengan dikedua ponsel ku, waktu yang sangat tepat untuk mengurai mimpi tentunya. Tapi tidak buatku malam ini.

Pikiranku melayang jauh ke sebuah rumah mungil berdinding bambu dengan atap daun rumbia. Rumah yang pernah menjadi tempat tinggalku dulu selama masa KPM (Kuliah Pengapdian Masyarakat) dari kampus Mei-juni 2010, atap itu pernah menjadi saksi seberapa banyak air mataku mengalir saat merindukan orang-orang yang ku cintai, dinding itu selalu tau apa yang ada dalam pikiranku. Seperti ¾ malam saat aku terbangun karena mendengar suara laki-laki yang di pendengaranku seperti suara Ayah, laki-laki yang paling ku cintai dalam hidupku, laki-laki yang tak pernah melupakan aku, laki-laki yang tak pernah bisa jauh dariku, laki-laki yang selalu ingin melihat anak perempuannya ini tertawa.

Bukit Bintang Indah, sebuah desa yang tak seindah namanya. Teramat jauh Dari ibu kota kabupaten Aceh Tenggara, tidak terjangkau oleh sinyal operator seluler (kecuali di atas gunung yang bisa membuat kaki pegal saat mendakinya, diserbu nyamuk, dan tak boleh bergerak saat sinyalnya udah di temukan). Sekalipun tak pernah terlintas dalam benakku untuk menginjakkan kaki kesana, melewati 1,5 bulan hidup di antara masyarakat yang tak ingin adanya perubahan dan cenderung masih mergelut dengan hal-hal mistis. Bahkan ada satu keluarga yang masih memelihara begu genjang. Banyak hal mistis yang ku temui disana, percaya tidak percaya tapi itu nyata.

Namun bukan itu yang membuatku kembali mengingat tempat itu melainkan sebuah rumah mungil dan sepasang penghuninya yang telah ku anggap sebagai orang tuaku, teman-temanku menyebut mereka Pak yahya dan Bu yahya. Diantara kami (15 orang) hanya akulah yang memiliki panggilan berbeda. Ayah dan Mamak, begitulah sebutanku buat pasutri asal Aceh Selatan itu. Sejak hari pertamaku menginap di bawah atap rumbia itu lelaki paruh baya itu menyebut dirinya ayah saat berkomunikasi dengan ku, berbeda dengan yang lain. Bahkan aku sendiri sampai saat ini tidak mengerti mengapa panggilan itu bisa berbeda. Satu bulan setengah di sana aku bukanlah seorang anak yang bisa di banggakan olenya, karena aku jarang ada di rumah untuk membantu beliau. Pernah ia mengajakku ke kebun kemiri miliknya untuk mencari kemiri yang hasilnya itu untuk ku bawa pulang ke Takengon atau ku jual untukku sendiri, tapi yang ku lakukan saat itu adalah pergi ke Sekolah untuk mengajar para siswa SMP yang sering tak ada guru. Aku yakin rasa kecewanya untukku saat itu cukup besar tapi Ia sama sekali tak menunjukkan sikap marah ataupun kekecewaanya di hadapanku, Ia tetap tersenyum dan ramah padaku.

Sedangkan Mak yahya sebelum tidur selalu merangkulku hingga aku tertidur, bahkan dua minggu pertama beliau terus tidur di sampingku, dan selalu ada saat aku terbangun di tengah malam, hingga membangunkan aku untuk shalat subuh. “Anakku, udah subuh, bangun shalat dulu”, begitulah setiap subuhnya Ia membangunkan ku. Tetap, berbeda dengan yang lain. Satu hal yang teramat ku sesali hingga sekarang, aku tak memberikan Mukena ku yang pernah di mintanya. Mukena Sulam Pita yang baru bisa ku selesaikan selama 2 minggu (di sela-sela waktu menghafal tes uji KPM ) itu menarik perhatiannya setelah shalat magrib di mahgrib ke-4 disana, ntah apa yang membuatnya tertarik. Tapi karena aku hanya membawa 1 mukena tentu saja tak ku beri, namun aku mengijinkannya untuk mengunakannya kapanpun Ia ingin shalat dengan mukena itu. Aku pernah ingin membuatnya sbuah jilbab dengan motif yang sama dengan mukena itu, tapi aku tidak menemukan bahan dasarnya disana.

Hal yang teramat ku sesali hingga kini. Andai saja aku masih dapat bertemu dengannya, akan ku berikan apa yang di mintanya. Sayangnya aku tak sempat meminta alamatnya di Aceh Selatan. Nomor handphone yang dulu pernah ku simpan di phonebook hp ku juga sudah tak aktif lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun