Mohon tunggu...
Muhammad Ilham Musyafa
Muhammad Ilham Musyafa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Yang kenal bilang extrovert, yang ga kenal bilang introvert, yang deket bilang gila

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah kisah: The Dirty Villager and The City

2 Desember 2014   07:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:16 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Saya inget sebuah cerita, ambil aja pelajarannya. Intinya jangan suka menilai sembarangan, berlaku seenaknya dan hargai orang sebelum kamu yang dihargai. Pada suatu waktu hiduplah seorang bocah. Dia berasal dari kampung yang jauh-jauh-jauh dari hingar bingarnya kota. Suatu hari, orang tuanya mengajak dia untuk urbanisasi ke kota. Dia yang memang gila harta dan gila kemewahan kota pun kontan setuju. Sesampainya di kota, dia bener-bener senang. "Baru kali ini aku lihat gedung-gedung bagus..", batinnya. Maka, di stasiun kereta, dia jadi tontonan orang-orang yang ada karena kelakuannya yang memalukan itu. Tapi sayangnya, orang tuanya tidak tahu kelakuan anaknya itu. Lantas, ia pun pergi ke toilet dan mengganti baju desanya dengan baju yang terlihat lebih 'kota'. Si bocah itu pun keluar dengan tampang sok keren dan sok kota. Dia mau coba melupakan kampungnya. Mentang-mentang hidup di kota, akhirnya kelakuannya pun berubah menjadi orang kota 'dadakan'. Orang tuanya yang akhirnya melihat bahwa anaknya telah berubah menjadi orang kota itu pun kontan kaget. Dan parahnya, si anak terlihat seperti tidak menganggap orang tuanya yang masih terlihat kampungan itu. Si ayah dan si ibu bekerja keras supaya mendapatkan uang di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan di kota. Tapi sang anak bagaimana? Dia hanya santai-santai saja di rumah. Ayah dan ibunya harus tetap berfikir bagaimana caranya agar tetap bisa makan, sambil tetap membayar uang kontrakan rumahnya. Tapi sang anak hanya bisa makan, nonton TV, main ke Mall walaupun dia tidak punya uang. Dia bahkan sering bertingkah kelewatan kalau tidak ada orang tuanya, misalnya membuat pesta-pesta dengan uang yang telah orang tuanya dapatkan susah payah itu. Setelah rejeki si ayah cukup, akhirnya bocah itu disekolahkan di sebuah sekolah yang bagus. Si anak pun makin menjadi. Karena kehidupan yang memaksanya untuk lebih berubah menjadi seorang metropolitan, sang anak memaksa ayahnya membelikkan handphone yang bagus. "Orang di sekolah pada pake HP bagus! Masa aku ga punya!", si anak memaksa. "Nak, buat kamu sekolah aja harusnya udah bersyukur! Kita ini ga punya uang banyak!", ayahnya membalas. "Pokonya ga mau tau! Kalo ga dibeliin awas aja!", si anak mengancam. Akhirnya setelah dihitung tabungan si ayah dan si ibu, uang yang terkumpul sudah bisa dibelikkan untuk HP si bocah itu. Si anak dibelikan sebuah Android Lollipop bagus. Tentunya senang sekali si bocah itu, tapi kesenangannya merupakan sebuah kontradiksi dengan perasaan si orang tua anak itu. Si anak pun semakin tampil bergaya di sekolahnya. HP bagus, baju bagus, semuanya. Dia sudah terlihat 'sempurna' menjadi anak seorang kaya. Tapi sayangnya, dia tidak pernah memberitahukan keadaan sebenarnya mengenai rumahnya dan orangtuanya. Setiap kali ia ditanya teman-temannya, ia hanya mengelak. Dia pun mulai terbiasa menggunakan kata 'gue' dan 'lo' disekolahannya dengan alih-alih 'keliatan gaul'. Dan karena apa yang telah dia punya, dia pun menjadi seorang yang berandal, seolah-olah berkuasa. Dia sering mengejek anak yang lebih rendah darinya. Dan juga karena dia pintar, dia sering memandang sebelah mata pada orang-orang yang memang kemampuannya lebih rendah darinya. Akhirnya, perlahan orang-orang pun mulai menjauhi dia, kecuali teman-teman yang memang satu tipe dengan dia. Golongan orang yang suka melecehkan dan merendahkan orang lain karena merasa 'punya kekuatan'. Suatu hari, si bocah itu dan teman-temannya bermain ke kota. Di trotoar, ada seorang pengemis yang meminta uang receh kepada si bocah itu. Tetapi bukannya menolong, si bocah itu malah menendang kaleng uang milik si pengemis itu dan tertawa bersama teman-teman gengnya sambil menjauh pergi. Lama kelamaan sikapnya yang seperti itu membuat orang-orang disekitarnya sakit hati, bahkan orangtuanya juga. Hingga akhirnya karena sudah tidak kuat, kedua orangtuanya meninggalkan dia di rumah kontrakan tersebut. Orangtuanya sudah tidak mau peduli lagi. Namun mereka tidak tega untuk mengatakan bahwa mereka sudah tidak sanggup menghadapi si anak tersebut. Akhirnya, orang tuanya berbohong dan berkata bahwa mereka hendak keluar kota untuk waktu yang sangat lama. Mereka hanya meninggalkan sejumlah uang di atas meja, dan berharap si anak menggunakannya dengan baik. Tapi sayangnya, si anak justru semakin senang karena orangtuanya tidak ada yang berarti kehidupannya bisa sangat bebas. Uang yang diberikan pun justru ia pakai untuk berfoya-foya. "Palingan nanti dikirim uang lagi, tenang aja!", katanya dengan enteng. Ia pun menjadi semakin senang berfoya-foya dan berpesta pora. Ini mengakibatkan prestasinya di sekolah menurun, hingga ia tidak menjadi juara kelas lagi. Suatu hari, uang yang diberikan telah habis. Si anak memutuskan untuk menulis surat ke orang tuanya, tapi ia tidak tahu kemana orangtuanya pergi. Ia mengirim surat ke kampungnya, namun surat balasan dari kampungnya mengatakan bahwa orangtuanya justru tidak ada di kampung, dan orang di kampung tidak bisa mengirim uang. Mereka justru membutuhkan uang. Si anak pun mulai kebingungan, perlahan-lahan ia menjual barang-barang yang ia punya. Didalam kebingungannya itu, pemilik kontrakan mulai meminta tagihan bulanan. Si anak semakin bingung. Terlebih ketika teman-temannya di sekolah selalu menanyakan tentang keluarganya dan rumahnya. Si bocah itu semakin kewalahan. Suatu hari, si anak terlihat murung di sekolah. Dia sudah tidak punya apa-apa lagi. Bahkan PDA, baju bagus, dan segala kemewahan yang dia punya telah ia jual demi uang. Disisi lain, teman-teman satu gengnya ternyata masih menyimpan kecurigaan. Akhirnya pada saat si anak pulang sekolah, teman-teman gengnya mengikutinya dari belakang untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Dan akhirnya teman-teman satu gengnya benar-benar kaget saat mengetahui bahwa bocah itu tinggal di sebuah rumah kontrakan, di sebuah gang yang sempit dan berdebu. Teman-teman satu gengnya telah mengetahui sifat aslinya dan mulai merubah pandangan mereka. Sehingga pada saat si bocah kembali ke sekolah (tentunya masih dengan wajah murung), sudah tidak ada lagi yang mau berteman dengan dia. Keadaan yang sangat mendesak membuatnya terusir dari rumah kontrakan itu. Si bocah itu pun bahkan keluar dari sekolahnya tanpa ada keterangan. Dia sangat ingin pulang kampung, tapi dia benar-benar tidak punya uang. Maka ia pun terpaksa mengemis di jalanan. Sungguh ironis, dimana keadaannya benar-benar berubah total. Dari seorang anak yang terlihat kaya, menjadi seorang pengemis yang meronta-ronta demi uang. Hingga suatu hari ia mengemis di sebuah jalanan di kota. Seorang kaya lewat di depannya. Si bocah itu mengemis kepada si tuan kaya, dan si tuan kaya justru menendang gelas uang milik pengemis itu. Ternyata seorang kaya itu adalah pria pengemis yang pernah ia tendang kaleng uangnya. Si tuan kaya itu melemparkan uang receh lima ratusan dengan sinis seraya berkata, "Akhirnya kamu menjadi rendah juga. Sekarang rasakan apa yang telah kau perbuat." Setelah si tuan kaya itu pergi, datanglah seorang anak. Usianya sebaya dengannya. Saat ia hendak memberikan uangnya, ia berhenti sejenak dan berkata, "Kamu kan pernah ngehina saya, ah, ngapain juga saya ngasih uang buat kamu. Ternyata kamu ga sekolah gara-gara jadi pengemis ya? Kasian banget kamu tuh..". Anak itu pergi menjauh meninggalkan si bocah yang semakin terlihat ironis di tengah hiruk pikuknya kota. Tahun demi tahun berlalu. Si bocah masih tetap menggelandang di jalanan. Dan otaknya pun mulai tak waras. Sementara itu, kedua orangtuanya telah sukses di kota lain. Di masa suksesnya, mereka teringat dengan anak semata wayangnya itu. Maka, mereka kembali ke rumah kontrakan yang dulu pernah mereka tinggali. Namun yang mereka lihat justru area pemukiman itu telah berubah menjadi sebuah gedung besar. Karena tidak ada kontak yang bisa dihubungi, maka kedua orangtuanya memutuskan untuk ke kampung mencari anaknya. Tapi saat sampai di kampung halamannya, keluarga di kampung justru balik bertanya mengenai keberadaan si bocah itu. Baik orangtua dan keluarga itu tidak mengetahui keadaan dan keberadaan si anak tersebut. Akhirnya seiring dengan waktu berjalan, kedua orangtuanya tidak memikirkan kembali keberadaan anak tersebut, begitu pula dengan keluarga di kampungnya. Si bocah sekarang benar-benar menjadi gila. Dia menggelandang dibawah jembatan. Wajah kotanya telah tertutup oleh debu jalanan. Dia sudah bukan menjadi seorang kaya raya lagi, tapi menjadi gembel gila yang kotor dan tidak tersentuh oleh tangan-tangan yang hendak menolongnya. Inti yang saya dapat dari cerita ini adalah untuk selalu menghargai apa yang telah kamu dapat, dan menghargai orang lain serendah atau seburuk apapun orang itu. Untuk tidak menilai seseorang karena kelemahannya atau kekurangannya, dan selalu berlaku baik dimanapun kita berada. Walaupun kita sudah jadi orang berada, orang kaya, orang yang punya kekuatan, tapi selalu ingat bahwa disana ada banyak orang yang membutuhkan bantuan kita, bukan untuk kita hina. Saat kamu telah memiliki harta atau kekuatan, ingatlah selalu bahwa perjuangan yang didapat tidaklah mudah. Maka hargailah pengorbanan itu, dan hargailah orang-orang yang telah membantu kamu sebagaimana orang-orang tersebut menghargai kamu. Sebuah kutipan berharga yang pernah saya dapet dari seorang temen berbunyi seperti ini : "Hargailah orang lain sebelum kamu yang dihargai. Pada saat kamu menghargai orang lain dengan baik, maka orang pun akan menghargai kamu sebagaimana kamu menghargai mereka. Berbuat baiklah pada orang lain, maka orang lain pun akan berlaku baik kepada kamu seperti sebuah cermin yang memberikan refleksinya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun