Saat defisit mengintai, dompet masyarakat menjerit. Apakah kenaikan iuran ini benar solusi atau justru menambah beban?
Pemerintah telah merencanakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang akan diberlakukan pada Juli 2025 sebagai langkah strategis untuk menjaga keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kebijakan ini dirancang untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan pembiayaan dan layanan kesehatan. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebutkan bahwa simulasi kenaikan iuran sudah dilakukan sejak 2022.
"Kami sebenarnya sudah melakukan simulasi kenaikan iuran BPJS Kesehatan sejak 2022, bersamaan dengan penyesuaian tarif di rumah sakit. Angka-angka tersebut sudah ada, dan setiap tahun kami tinjau ulang untuk melihat sampai sejauh mana kondisi BPJS bisa bertahan," ujarnya. Rencana kenaikan ini bersamaan dengan penyesuaian tarif layanan kesehatan di rumah sakit, dengan tujuan memastikan BPJS Kesehatan tetap mampu memberikan layanan yang berkualitas kepada seluruh peserta.
Defisit keuangan BPJS Kesehatan menjadi alasan utama dibalik kebijakan kenaikan iuran ini. Berdasarkan data historis, BPJS Kesehatan terus mengalami defisit, seperti yang tercatat pada 2019 sebesar Rp 9,1 triliun dan diproyeksikan membengkak hingga Rp 32,8 triliun jika tidak ada penyesuaian.
Defisit ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk rasio klaim yang selalu melebihi 100% (idealnya 90%) dan rendahnya kedisiplinan peserta dalam membayar iuran, khususnya dari kategori Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU). Selain itu, beban pembiayaan penyakit katastropik seperti gagal ginjal dan kanker terus meningkat, memperparah kondisi keuangan BPJS.
Kenaikan iuran berdampak pada masyarakat, terutama peserta kelas III atau golongan ekonomi bawah, yang berpotensi kesulitan membayar dan meningkatkan risiko tunggakan. Sementara itu, tanpa kenaikan, BPJS berisiko gagal bayar klaim, mengganggu operasional rumah sakit, dan menurunkan kualitas layanan. Kebijakan ini bertujuan menjaga stabilitas sistem kesehatan.
Grafik defisit menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, di mana pada 2019 defisit mencapai Rp 9,1 triliun, dan proyeksi pada 2024 meningkat drastis hingga Rp 77 triliun. Selain itu, rendahnya tingkat kedisiplinan peserta dalam membayar iuran menyebabkan tingginya tunggakan, dengan hanya 54% peserta kategori PBPU yang aktif membayar. Pembiayaan BPJS juga sangat terbebani oleh penyakit katastropik.
Misalnya, penyakit jantung memakan biaya terbesar sebesar Rp 12,144 triliun, diikuti oleh kanker (Rp 4,501 triliun) dan stroke (Rp 3,235 triliun). Total pengeluaran BPJS untuk penyakit katastropik pada 2022 mencapai Rp 24,06 triliun.
Kenaikan iuran BPJS memberikan dampak signifikan bagi masyarakat, terutama golongan ekonomi bawah yang sulit menanggung beban tambahan. Hal ini dapat memperburuk tingkat tunggakan iuran dan menurunkan akses layanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu. Beban publik juga semakin berat karena kenaikan iuran tidak selalu diiringi peningkatan kualitas layanan kesehatan, sehingga menuai kritik dari berbagai pihak.
Proyeksi tahun 2026 menunjukkan risiko gagal bayar klaim oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan jika defisit tidak segera diatasi. Hal ini berpotensi mengganggu layanan rumah sakit dan meningkatkan ketidakpuasan publik.