"loh, tulisan ini kok mirip dengan tulisanku?" tulis Rudi di kolom komentar.Â
Kebiasan kita adalah mengambil karya milik orang lain tanpa permisi. Ketika ketahuan, lantas mengelak dan mengaku bahwa karya yang telah di buat merupakan hasil jerih payah sendiri. Inilah ujian yang sebenarnya di masa depan kita nanti. Bukan lagi tentang kebodohan, tapi ketidakjujuran.
Coba, tengok dan lihat di sekeliling kita. Hampir di lingkungan instansi apapun sering di jumpai orang-orang yang tidak jujur. Sekalipun di sekolah, pasar, tempat ibadah ataupun kampus. Meskipun di huni oleh orang-orang pintar, tapi kadang ide dan gagasan mereka tidak lagi original.Â
Baik dalam hal-hal ringan pun di lakukan dengan proses ketidakjujuran. Seperti datang terlambat, mengantuk saat kerja, dan meninggalkan tugas. Contoh sikap itulah yang membuat kita dalam cengkraman gurita keburukan.
Entah siapa yang mengajarkan, saya pun juga tidak mengerti. Tapi yang pasti, praktik tidak jujur masih berpotensi menjamur dan berkelanjutan. Mulai sejak anak-anak, sampai dewasa. Tindakan ketidakjujuran masih sering ditemukan. Â
Sebab, awal terbentuknya ketidakjujuran karena pendidikan dalam keluarga yang salah. Misal; ada teman yang akan datang ke rumah kita, karena malas untuk menemui tamu, kemudian menyuruh anaknya. Dan berpesan bahwa; bapak/ibu sedang tidak ada di rumah.
Sisi inilah yang mengajarkan anak kita untuk terus berperilaku tidak jujur. Sehingga, jangan salahkan anak kita, kalau dewasa nanti mereka berani berperilaku bohong kepada orang tuanya.
Mungkin, alasan di atas yang melatarbelakangi terjadinya korupsi di Indonesia. Karena terbiasa berbohong, dan nyaman dengan kebohongan. Akhirnya berbicara bohong menjadi perihal lumrah, walaupun secara prinsip kita tahu bahwa tindakan yang di pilih salah.
Untuk itulah kita musti belajar bersama untuk berperilaku jujur. Terdengar simpel di lisan, tapi fakta yang menilai bahwa jujur itu sangat sulit untuk di lakukan. Terlebih yang berkaitan dengan nominal (baca: uang). Tidak jarang pada saat membuat laporan pertanggungjawaban terjadi mark up anggaran. Â
Seharusnya kita sadar diri, kalau ingin kaya bukan dengan jabatan. Apalagi menghabiskan uang negara untuk kepentingan pribadi dan/atau golongan. Kesalahannya di sana, ketika di berikan kekuasaan dimanfaatkan untuk memperbaiki suaka rumah tangga.
Kalau memang ingin banyak uang, dan ingin lekas kaya dalam waktu cepat, maka mulailah berbisnis. Itu akan lebih fair, sportif, dan sehat. Sebab bisnis jelas menggunakan kejujuran, dan rasional. Bukan lagi mengutamakan kepentingan dan emosional semata. Yang di ujung akhirnya melakukan tindakan berbohong. Kalau dalam membangun bisnis, melalukan ketidakjujuran maka konsekuensinya bangkrut.