Korupsi, mungkin seluruh masyarakat Indonesia sudah mengetahui perbuatan yang “tidak berperi kemanusian” ini. Kalau ada korupsi pasti ada dua teman dekatnya, saking dekatnya sampai tidak dapat dipisahkan dan teman dekatnya yaitu Kolusi dan Nepotisme. Ketiganya lalu membuat grup dengan sebutan KKN. Korupsi ini memiliki pengikut yang bernama “koruptor”, dan pengikut korupsi ini memiliki tempat berkumpul yang menurut penulis keren atau beda dari yang lain yaitu di Rutan KPK. Selain itu juga memiliki seragam yang mencolok yaitu rompi berwarna orange yang dibagian punggungnya bertuliskan “Tahanan KPK”. Korupsi dan kedua sahabatnya ini sudah menggeronggoti sendi kehidupan bangsa ini. Tindak pidana ini lah yang membuat negara kita tercinta ini tidak bisa maju, sampai-sampai negara kita kalah dari negara sebelah yang merdekanya lebih dahulu negara kita.
Apabila ditanya, apa itu korupsi, mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia menjawab korupsi adalah tindakan mengambil atau mencuri uang rakyat atau uang yang bukan haknya. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, korupsi adalah “setiap orang, baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.[1] Korupsi diartikan sebagai suatu tindakan memperkaya, tidak menjalankan amanat dan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri ataupun golongan tertentu yang menyalahi hukum dan menyebabkan kerugian terhadap negara.
Korupsi di Indonesia ini sebenarnya terjadi sebelum kemerdekaan bahkan wilayah Indonesia masih disebut dengan nusantara. Contohnya kerajaan Singoshari yang saling membunuh demi mendapatkan kekuasaan. Lalu dengan mudahnya bangsa asing masuk ke nusantara memecah belah kerajaan/kesultanan di nusantara (penulis tidak memberikan contoh karena takut melenceng dari pembahasan dan ada pihak yang tersinggung). Itu semua karena apa? , itu semua karena pejabat-pejabat di lingkungan kerajaan/kesultanan yang “korup”, hanya mementingkan kekayaan pribadi dan keluarga, tidak memandang rakyatnya yang hidup kurang sejahtera. Oleh karena hal tersebut, bangsa penjajah dengan sangat sukses dan lancar menerapkan politik “devide et impera” atau pada zaman waktu pelajaran di Sekolah Dasar dahulu disebut dengan politik mengadu domba.
Penulis tidak habis pikir, apakah pejabat-pejabat Indonesia yang korup sekarang tidak berpikir bahwa apabila ia melakukan hal tersebut Indonesia bisa dengan mudah dimasuki negara asing dan penjajahan dimulai kembali, negara kita dihancurkan dari dalam. Apakah mereka tidak melihat rakyat miskin mencari uang dengan sulitnya, harus bekerja dari pagi hingga pagi, menahan panasnya terik matahari dengan penghasilan yang tidak seberapa sedangkan mereka hanya duduk di kursi yang empuk, diruangan yang dingin lalu dengan enaknya “mengemplang” uang rakyat. Apakah mereka tidak melihat ada adik-adik kita bersekolah dengan sangat berat, melalui jalan yang luar biasa sulitnya bahkan sampai-sampai mempertaruhkan nyawa mereka, sampai di sekolah dengan kondisi sekolahnya yang memperhatinkan, lalu dengan mudahnya koruptor-koruptor tersebut memakan uang yang seharusnya untuk adik-adik tersebut.
Selain dari para pejabat di kerajaan atau kesultanan yang korup ternyata didalam tubuh bangsa penjajah juga ada benih-benih koruptor. Kita tengok saja VOC yang sebelumnya sangat berhasil dan sukses, hancur karena pejabat-pejabatnya yang korup. Harta kekayaan yang dikirim ke negara induk di Eropa hanya sebagian dan yang lain dipungut pejabat Belanda di Indonesia. Mungkin apabila Indonesia dulu dijajah negara yang tidak korup, mungkin korupsi di Indonesia sekarang tidak terlalu tinggi (hanya kemungkinan).
Pasca kemerdekaan pun, korupsi ini tidak jauh berbeda dari sebelum kemerdekaan. Ada berbagai kasus yang terjadi pada masa orde lama. Penulis hanya mengambil berbagai contoh, misalnya, kasus korupsi di Partai Nasional Indonesia yang menimpa Iskaq Tjokrohadisurojo karena memiliki harta di luar negeri seperti uang, mobil, kereta dan tiket pesawat tanpa adanya izin dari Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri. Selain itu, politisi dari Masyumi juga ada yang terlibat kasus korupsi. Selain korupsi, pada masa orde lama juga terjadi kasus saudaranya korupsi yaitu gratifikasi.
Kondisi inilah yang memperberat keadaan Indonesia pada saat itu. Indonesia sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan yang akan dijajah kembali dan ditambah lagi kelakuan para pejabat-pejabatnya yang korup. Melihat kejadian ini, penulis dibuat bingung melihat pejabat-pejabat pada saat itu. Apa mereka tidak malu kepada bangsanya sendiri, disaat bangsanya melawan kekuatan asing yang kurang puas menjajah negara kita dan adanya pengacau dari dalam, mereka dengan enaknya korupsi. Disaat bangsanya diserang dari luar, mereka menyerang bangsanya sendiri dari dalam. Mungkin koruptor-koruptor tersebut bermata jeli, mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Pada masa orde baru korupsi tidak kunjung reda. Presiden Soeharto mengisyaratkan untuk memberantas korupsi, lalu akhirnya dibentuk sebuah badan untuk menindak tindakan korupsi yaitu Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Tetapi lembaga ini tidak menjalankan tugasnya secara maksimal. Oleh karena hal tersebut mahasiswa pada saat itu melakukan demonstrasi. Pada saat itu masyarakat menyorot beberapa BUMN seperti Pertamina, Departemen Kehutanan dan Bulog karena diduga BUMN-BUMN tersebut merupakan tempatnya korupsi. Pada saat itu pemerintah seperti menutup diri setiap terjadi tindak pidana korupsi seperti ditemukannya tindak pidana korupsi di pertamina tetapi pemerintah tidak merespon akan kejadian tersebut.
Selanjutnya setelah runtuhnya era Orde Baru, pemerintah seakan berbenah diri. Pemerintah lebih terbuka kepada rakyatnya agar memunculkan image positif kepada rakyat. Pemerintah langsung mengeluarkan Undang-Undang pemberantasan korupsi yaitu UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada saat kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono. dibentuklah suatu badan dibawah Jaksa Agung yaitu Tipikor. Pada saat kepemimpinan Presiden SBY pula tepatnya pada tahun 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penggeledahan ruangan di gedung DPR-MPR yang sempat ditolak oleh pimpinan lembaga legislatif tersebut.
Di Indonesia sendiri ada beberapa bidang yang disasar oleh para koruptor. Dalam bidang politik, dalam hal ini biasanya korupsi terjadi ditubuh partai politik dan badan legislatif. Tentunya tidak lupa dengan kasus korupsi impor daging sapi yang dilakukan oleh anggota DPR RI ( 2009-2014 ) dan mantan presiden PKS. Penulis cukup heran, apa dia tidak kolestrol dan darah tinggi, makan daging sapi begitu banyak. Selain dalam parpol dan legislatif, korupsi juga terjadi di institusi penegak hukum. Kasus yang mencolok yaitu korupsi pengadaan simulator SIM yang dilakukan oleh Perwira Tinggi POLRI. Sebenarnya Polri selama ini mendapat sorotan dari masyarakat karena banyak oknum-oknum Polri yang melakukan pungli terutama di jalan raya. Tetapi saat ini Bapak Kapolri sedang gencar-gencarnya memberantas pungli ditubuh Polri dan nampaknya Bapak Kapolri cukup berhasil dengan terbukti pungli sekarang sudah cukup berkurang. Tetapi ada saja oknum yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Semoga saja oknum-oknum tersebut segera bertaubat kepada Allah SWT.
Selain terdapat dalam Polri, korupsi juga menyasar Hakim MK, yaitu suap soal impor daging sapi dan KPK menetapkan Patrialis Akbar sebagai tersangka karena kasus tersebut. Selain dalam penegak hukum, korupsi ini juga menyasar keinstitusi militer. Berita yang sedang hangat saat ini yaitu korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland AW 101. Memang cukup jarang terdengar korupsi ditubuh militer. Ini warning bagi seluruh jajaran TNI untuk waspada terhadap serangan dari korupsi yang sudah mulai bergerak. Ada juga korupsi dalam keolahragaan, dan yang paling diingat yaitu kasus hambalang yang pasti teman-teman sudah tau tersangkanya siapa. Selain ditingkat pusat, tidak menutup kemungkinan korupsi ini menjangkiti sampai ke pemerintahan daerah. Apalagi sekarang sedang gencar-gencarnya dana desa yang begitu besar. Hal ini bisa memunculkan adanya peluang untuk melakukan korupsi atau menyelewengkan dana tersebut untuk kepentingan pribadi.