Mohon tunggu...
Ilham Saputra
Ilham Saputra Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Yang diucapkan akan lenyap, yang ditulis akan abadi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Berpikir Kritis pada Filosofi Keadilan

22 Desember 2020   10:39 Diperbarui: 22 Desember 2020   10:47 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi rasa waspada pada publik tentang akibat dari kebijakan yang salah dalam memakai perspektif. Contoh sederhananya adalah apa dampaknya pada pemotongan APBN sebesar 133,8 Triliun yang dilakukan oleh Menteri Sri Muliyani terhadap Human Development Index pada tahun 2016 yang lalu? Atau apa akibat bila anggaran tersebut tidak dilakukan pemotongan terhadap Human Development Index? Tentu kita harus berpikir tajam mengenai hal ini. Inilah maksud dari dampak kebijakan yang memiliki potensi untuk menghasilkan keadilan bagi masyarakat.

Ketidakadilan adalah penyebab dari munculnya konsep keadilan ini. Ketidakadilan terbagi menjadi 2, ada ketidakadilan terhadap laki-laki dan ada ketidakadilan terhadap perempuan. Ketidakadilan pada laki-laki adalah penderitaan yang terjadi karena kekurangan hak, sedangkan ketidakadilan pada perempuan merupakan kalkulasi terhadap segala jenis ketidakadilan. Dengan kata lain perempuan mengalami penderitaan atas harapan pada masa depan.

Seharusnya pada kebijakan yang dilakukan pemerintah itu berdasarkan 2 hal yakni ethics of rights (etika atas hak) dan ethics of care (etika atas kepedulian). Namun yang terjadi adalah kebijakan-kebijakan ini hanya bertumpu pada ethics of rights saja, entah itu transaksi atas hak, jumlah hak yang diperlukan, dan lain-lain. Umumnya, kebijakan yang ada hanya berdasarkan pada prinsip keadilan yang maskulin. Prinsip-prinsip ini bisa ditemukan pada 2 teori keadilan, yaitu Utilitarianisme dan Libertarianisme.

Utilitarianisme merupakan bagian dari etika filsafat mulai berkembang pada abad ke 17-19 sebagai kritik atas dominasi hukum alam yang mana pada saat itu yang memiliki hak hanyalah raja, seorang feodal, atau hanya ada para pendeta. Sebagai teori etis secara sistematis teori utilitarianisme di kembangkan Jeremy Bentham dan muridnya, John Stuart Mill. Utilitarianisme disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happines theory). Karena utilitiarianisme dalam konsepsi Bentham berprinsip the greatest happiness of the greatest number. Kebahagiaan tersebut menjadi landasan moral utama kaum utilitarianisme, tetapi kemudian konsep tersebut di rekonstruksi Mill menjadi bukan kebahagiaan pelaku saja, melainkan demi kebahagiaan semua. Sejalan dengan prinsip seperti itu, seolah-olah utilitarianisme menjadi teori etika konsekuensialisme dan welfarisme. Dengan kata lain,  Utilitarianisme menganggap bahwa keadilan pada kebijakan harus berdasarkan pada kebahagiaan masyarakat terbanyak (mayoritas harus bahagia).

Namun pada era tersebut, konsep utilitarianisme ini tentu dianggap sebagai terobosan baru, sebab masyarakat tidak lagi harus bergantung pada relasi personal dengan tuannya, juga tunduk/tidaknya dengan pendeta pada era tersebut.

Lalu ada teori baru yang mendominasi terhadap kebijakan publik, teori ini dikenal sebagai konsep Libertarianisme. Teori ini muncul pada abad ke 18. Pada konsep ini, keadilan tidak didasarkan pada jumlah kebahagiaan terbanyak, tetapi hak atas individu untuk menghasilkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Jadi tidak mungkin kebahagiaan itu diakumulasi serta dihitung secara agregatif, melainkan bagaimana individu tersebut dapat menciptakan kebahagiaannya sendiri.

Sayangnya, di Amerika Serikat istilah "libertarian" sejak tahun 1970an, cenderung diartikan identik dengan sayap kanan, yaitu pendukung kapitalisme "pasar bebas". Sedangkan pada Eropa istilah ini diartikan dengan orang yang berideologi kiri.

Bagi penulis, hal yang disebut "adil" itu apabila terciptanya kebahagiaan bersama tanpa bertentangan pada konsep mana pun, entah itu konsep teologi (agama), suku, ras, maupun budaya.

Sekarang 2 hal ini dikembalikan pada para pembaca yang budiman, bagaimanakah pandangan kalian pribadi mengenai konsep "adil" itu? Apakah adil itu di saat kita melihat orang-orang banyak di taman sedang bahagia? Atau sebaliknya, apakah adil itu di saat kita bisa berbahagia atas segala pencapaian kita pribadi tanpa memedulikan orang banyak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun