(Mengakhiri silang sengkarut debat dan klaim khalayak pada jejak sebuah puisi)
Oleh Ilham Q. Moehiddin
Silang pendapat perihal dua entitas puisi yang masing masing berjudul "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono dan "Lafaz Cinta" karya Kahlil Gibran yang sangat identik dalam syair-syairnya, sepertinya segera berakhir.
Bagi saya, awalnya persilangan pendapat yang ramai terjadi di berbagai situs dan blogger sastra Indonesia, soal kedua puisi ini belum menyita perhatian saya. Sampai suatu waktu Shinta Miranda, seorang sastrais perempuan, membuat umpan pada komentarnya di tulisan saya "Ada Apa Antara Dauglas Mulloch dan Taufiq Ismail".
Pada Shinta Miranda, saya kemudian menyanggupi untuk membuat telisik literasi atas dua puisi berjudul berbeda namun memiliki kesamaan larik itu.
Persilangan pendapat yang bermula pada adanya kesamaan nash puisi ini membuat saya tertarik. Entah siapa yang mulai membenturkan dua nama penyair itu pada satu bidang puisi? Tetapi saya pun sependapat jika sebuah karya mesti ditahbiskan pada pengkaryanya, bukan pada pengutipnya, atau pada pengklaiman pihak lain.
Agar lebih jelas, yang mana nash puisi yang "disengketakan" itu, berikut saya kutip puisi tersebut;
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan kata yang tak sempat diucapkan/ kayu kepada api yang menjadikannya abu// Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan isyarat yang tak sempat disampaikan/ awan kepada hujan yang menjadikannya tiada//
Syair ini tentu saja indah, sehingga sering bahkan terkutip di banyak undangan pernikahan, atau kartu ucapan pada kado antar kekasih. Ini seketika menarik bagi saya. Sebab dibeberapa situs atau blog pecinta sastra, ketika literasi ini ditampilkan dengan menyebut salah satu dari dua penyair itu, seketika lahir debat. Konyol, sebab kadang debat tadi berganti keras bahkan sering lancung menjadi sarkas. Tak ada yang mau mengalah, masing-masing pihak mengemukakan pendapat dan sangkaan yang sebenarnya tak berujung-pangkal.
Penelusuran Literasi untuk Membuktikan Akurasi Klaim