Bagian Kedua dari Enam Tulisan Seri Tolak ACFTA
Oleh Ilham Q. Moehiddin
Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, dalam tulisan terdahulu (Free Trade Area: The New Road Map of Imperialism), bahwa AFTA, kemudian belakangan disebut ACFTA (Asean-China Free Trade Area), ternyata mendapat perhatian penuh dari pemerintah Republik Indonesia. Paling tidak ini sudah diisyaratkan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pernyataan terbarunya, SBY mengatakan Indonesia siap menghadapi ACFTA.
Pernyataan presiden itu, seolah ingin menampik keresahan-keresahan pasar domestik nasional, yang sesungguhnya belum mau mengikuti hasrat pemerintah menyerahkan sepenuhnya ekonomi Indonesia ke pasar bebas.
Namun, kesimpulan sepihak telah diambil pemerintah, dan masyarakat ekonomi mikro Indonesia kini diperhadapkan pada realitas bahwa mereka mau—atau tidak mau—harus menghadapi sejumlah kekuatan ekonomi yang lebih dulu mapan dalam panel ACFTA yang diamini pemerintah.
Kesimpulan yang diambil sepihak pemerintah ini tidak sekadar menanggapi data statistik ekonomi yang menunjuk trend pertumbuhan, tetapi juga harus disandarkan pada angka-angka pertumbuhan lainnya, semisal, pertumbuhan angka pengangguran yang masih tinggi, lapangan kerja yang masih sedikit, dukungan perbankan kepada sektor ekonomi mikro yang belum pungkas, dan nilai produksi sektor riil yang belum menggembirakan.
Paling tidak, ketika Presiden SBY mengumumkan kesiapan ini, dibarengi pula pemaparan angka-angka dari sektor-sektor yang “masih meragukan” yang disebut terakhir. Mana mungkin menyerahkan ekonomi Indonesia sepenuhnya terhadap pasar bebas hanya bersandar pada total general pertumbuhan ekonomi pada angka kurang lebih empat persen.
Tapi, baiklah. Katakan saja, pemerintah sudah mengamini ini. Maka, peta jalan baru imperialisme makin terbuka lebar, dan akan kita lihat bagaimana manusia menjadi komoditas utama dalam perdagangan bebas ini.
Manusia sebagai komoditas utama perdagangan bebas. Inilah kata kuncinya. Hilangnya batas wilayah dalam peta perdagangan dunia, sekaligus pula menegaskan bahwa segala jenis produk akan menjadi senjata utama, dan konsumen menjelma menjadi “wilayah jajahan”. Sikap masyarakat Indonesia yang mayoritas komsumtif, menegaskan batas-batas “wilayah jajahan” itu. Pasar Indonesia akan diserbu produk-produk asing yang memang disetting menjadi kebutuhan oleh korporasi-korporasi dunia yang kalaboratif dengan distributor.
Saya menduga, kata “siap” dalam pernyataan presiden itu dapat diartikan sebagai siap dijajah? Siap dijejali produk?
Jika pasar Indonesia sebelumnya dapat dikuasai oleh produsen dalam negeri dalam arti sesungguhnya, maka setelah terbuka, nantinya pasar Indonesia tidak dapat diklaim lagi oleh produsen-produsen dalam negeri yang memang tidak setangguh produsen asing dalam soal modal dan inovasi.
Mari kita tengok satu sektor industri dulu, yakni garmen. Garmen Indonesia tidak menjadi raja di tanah air. Kebanyakan sektor ini diserahkan pada kuasa garmen asing, macam China, yang sejak lama menjadi pemasok utama garmen di pasar-pasar besar di Indonesia. Batik murah yang banyak beredar, ternyata bukan berasal dari industri rumah batik tradisional yang banyak berserak di seantero Jawa.
Jangan tanya mengapa industri batik nasional tidak berdaya. Selama ini industri Tekstile dan Produk Tekstile (TPT) nasional saja sudah berkali-kali ambruk. Diawali tahun 1997, ketika dunia diterjang krisis keuangan global, industri TPT pun berjatuhan menemani dunia perbankan nasional. Setelah itu, pemerintah sangat pasif menyegarkan industri ini. Kabarnya tidak pernah terdengar lagi, sejak tekstil China menyerbu pasar dengan garmen murah. Ternyata garmen asing itu lebih diminati, tidak saja dikarenakan harganya yang demikian rendah, tetapi juga motif dan jenis kainnya yang lebih beragam.
Harapan sedikit terbuka bagi industri TPT tradisional ketika batik ditasbihkan UNESCO sebagai warisan dunia. Artinya, China yang sebelumnya membanjiri pasar garmen nasional dengan produk batik cetak bajakan murah, akan sedikit menarik diri, karena ancaman gugatan paten. Sedikit longgar, mungkin benar. Siapa pun tahu strategi ekonomi pemerintah China yang tidak “terlalu tegas” dengan isu pembajakan pelaku ekonomi nasional mereka.
Jadi masih gampang ditebak, seperti apa langkah China ketika panel ACFTA meluncur bebas. Tak ada proteksi permanen di pasar bebas. Habitat pasar yang seperti ini yang disukai pelaku ekonomi China, Eropa dan Amerika Serikat, dan akan makin melumpuhkan kekuatan hak paten.
Lihat pula sektor pertanian. Sektor satu ini sudah diumumkan berhasil berswasembada pada lima tahun pemerintah SBY sebelumnya. Tapi komoditas yang mana? Komoditas yang berhasil di swasembada masih terbatas pada produk beras. Tapi bagaimana dengan produk yang lain, macam palawija, kapas untuk garmen dan farmasi, sayur mayur, tebu untuk gula, dan buah-buahan? Semua komoditas itu nyaris separuhnya dipenuhi dengan mekanisme impor.
Maka, setelah ACFTA bergulir nanti, tak usah heran jika menjelang lebaran atau natalan, harga terigu dan gula melambung karena pasar kedua komoditas itu dibanjiri produk kemasan luar negeri. Komsumsi gula di Indonesia masih bergantung pada impor gula dari Brasil. Pemerintah memang baru merencanakan akan meremajakan sejumlah areal perkebunan tebu untuk menunjang produksi gula nasional sampai 2014. Departemen Perdagangan saja baru mematok 5.000 hektar lahan tebu baru sampai akhir 2014. Jadinya, masyarakat konsumen masih akan menunggu lama agar bisa menikmati berdayanya gula nasional. Selama masa penungguan itu, masyarakat harus puas dulu dengan gula kemasan asing.
Pasokan terigu dari korporasi macam Bogasari masih dapat diandalkan, tetapi tetap saja bahan bakunya pun masih diimpor dari India, Thailand, dan Vietnam. Kelak, dalam ACFTA, Bogasari akan menghadapi ancaman serius dari pemasok terigu besar yang bermain di kawasan. Tentu saja, ketimbang menjual bahan bakunya ke Bogasari, pemasok India, Thailand dan Vietnam masih dapat mengeruk untung berlipat ganda dengan memproduksinya sendiri. Bogasari tentu masih akan tetap menjual, tetapi harganya tak akan bisa bersaing lagi.
Sektor elektronik juga tak jauh beda. Sekarang saja, pasar Indonesia masih merupakan lahan yang subur bagi produk elektronik asing. China dan Jepang masih menguasai pasar elektronik rumah tangga dan perkantoran. Amerika, Eropa, dan China pun berkuasa di pasar elektronik komunikasi seluler.
Masyarakat Indonesia sudah terlanjur dikenal sebagai salah satu masyarakat pengguna elektronik paling aktif di dunia. Perkembangan dunia IT menunjukkan hal tersebut. Hampir disetiap peluncuran perdana produk elektronik (rumah tangga, perkantoran dan seluler) terbaru, masyarakat menunjukkan antusiasme yang sangat tinggi, hingga perolehan devisa dari sektor ini terkerek naik.
Selain produk yang diimpor langsung, masih ada pula produk yang dihasilkan dari industri bermodal lisensi, macam Nexian dan Sanex yang memproduksi telepon genggam CDMA murah. Produk-produk berlisensi China, Taiwan, Korea, (Acer, Samsung, Viliv, dll.) ikut menyodok pasar produk-produk lisensi sejenis dari korporasi besar Jepang dan Amerika, yang sudah lebih dulu menancapkan kukunya, macam Panasonic, Canon, Toshiba, Sony (belakangan menjadi Sony-Ericcson), Hawlet Packard, Fujitsu, dan Asus.
Dahulu, Indonesia masih bisa bangga dengan korporasi elektronik National Gobel, tetapi begitu diakuisisi raksasa elektronik Panasonic, kebanggaan itu sirna seketika.
Sektor otomotif pun sama. Terjajah. Produk otomotif Jepang, Amerika, Eropa, dan China menguasai jalan-jalan Indonesia dengan merek-merek mereka. Indonesia hanya dijadikan area asembling, alias perakitan belaka. Industri otomotif Indonesia yang bergaya lisensi, akan makin memperburuk penjajahan gaya baru ini.
Jadi, saya makin yakin Peta Jalan Baru Imperialisme itu, benar-benar telah dimulai, dan benar-benar menempatkan konsumen sebagai “area jajahan”
Siapa yang diuntungkan dengan terbukanya pasar di Asia ini? Tentu saja Amerika Serikat, bukan China, atau India. Banyak orang mengira, jika China diprediksi akan memimpin pertumbuhan ekonomi Asia 2010, maka China seketika dicap sebagai ancaman dalam panel perdagangan bebas ini. Saya tidak sepakat.
China hanya konduktor percepatan ekonomi di kawasan, tetapi yang menarik manfaat sebanyak-banyaknya adalah Eropa dan Amerika Serikat—dengan ribuan jaringan bisnis Yahudi yang bertebaran di negara-negara tersebut. Apa kaitan FTA dengan jaringan bisnis Yahudi? Akan kita lihat kemudian.
Sejak keruntuhan sejumlah giant coorporation Amerika Serikat, salah satunya General Motors, pemerintahnya harus melakukan intervensi (bailout) untuk tindakan penyelamatan. Keruntuhan GM inilah yang dijadikan isyarat dan mendorong pemerintah Amerika Serikat terus giat dan sangat serius mendorong panel perdagangan bebas kawasan.
Beberapa hal yang memicu keruntuhan GM (kedua kalinya) adalah tingginya pajak bea masuk barang impor di sejumlah negara tujuan, masih adanya negara yang memasang pajak barang mewah terhadap sejumlah produk otomotif GM, dan penolakan atau ancaman naturalisasi dari sejumlah negara yang menolak paham politik Amerika Serikat. Dengan terbukanya sejumlah kawasan melalui panel perdagangan bebas, maka hambatan-hambatan dasar tadi akan ikut terhapus, dan Amerika Serikat masih berharap banyak, korporasi-korporasi mereka akan berdaya kembali dan makin mengkokohkan kepentingan Amerika Serikat di sejumlah negara.
Sektor furniture rumah tangga dan perkantoran, masih bisa sedikit memperoleh peluang. Kendati masih boleh dikatakan menguasai pasar, tapi bayang-bayang persaingan sulit dihapus dari peta distribusinya. Selain merek nasional yang ada, sejumlah merek asing buatan Jepang dan China—khususnya pada furniture perkantoran—masih meramaikan pasar. Kecenderungannya pun sama, diarahkan pada industri perakitan bermodal lisensi belaka. Bayangan persaingan itu masih ada, disebabkan pemerintah kelihatan tidak terlampau serius lagi mengelola isu “Cinta Produk Indonesia” yang masih diperjuangkan beberapa usaha nasional, macam—salah satunya yang paling giat berpromosi—Kelompok Usaha Maspion.
Sangitnya Aroma Kapitalisme-Imperialisme dalam Panel ACFTA
International Monetery Fund (IMF), dalam lansiran terbaru mereka mengangkat sejumlah tafsiran mengenai panel ACFTA. Lembaga ini memprediksi bahwa ekonomi Asia akan mengalami percepatan pertumbuhan pada 2010, dengan China sebagai pemimpin percepatan pertumbuhan tersebut.
Apakah pengumuman IMF itu mendorong harapan (atau, membawa harapan?) baru pada peta ekonomi kawasan setelah ACFTA bergulir? Mungkin saja benar. Terlebih pada sejumlah negara yang benar-benar siap menghadapi era baru perdagangan dunia itu.
Apakah pengumuman IMF itu adalah upaya tendensius untuk memulihkan sejumlah asumsi negatif terhadap panel pasar bebas? Mungkin juga benar. Sebab jika asumsi negatif terus bermain—menghadang WTO dalam upayanya menciptakan kawasan-kawasan pasar bebas di seluruh dunia—maka sangat sulit bagi Eropa dan Amerika Serikat memulai Peta Jalan Baru Imperialisme mereka. Terlebih beberapa negara di kawasan Amerika Selatan makin serius menanggapi isu-isu aktual negatif di balik WTO dengan sejumlah panelnya itu (ETA, AFTA, ACFTA, APFTA, dan SAFTA).
Seperti yang banyak dilansir, bahwa hampir disetiap putaran pertemuan WTO, panel-panel yang diusulkan lembaga itu ditentang habis-habisan oleh para pemrotesnya. Bahwa panel-panel perdagangan bebas kawasan hanya akan membawa pengangguran besar-besaran; bahwa panel itu hanya akan meningkatkan angka kemiskinan; bahwa perdagangan bebas akan berdampak serius pada sektor pertanian (yang ditentang keras petani Korea Selatan dengan demonstrasi pembakaran diri). Namun tidak satupun dari gambaran negatif itu yang mencium dampak paling besar dari pemberlakuan FTA, yakni terbukanya peta jalan baru bagi penjajahan gaya baru.
Bahwa sistem ekonomi kapitalistik yang bertumpu pada kemandirian pasar dan supremasi mata uang, akan makin subur dengan pola perdagangan bebas. Dimana komoditas dan produk tidak dibatasi, tidak disaring, tidak dipilah. Dimana nilai komoditas dan produk hanya diukur dengan lembaran-lembaran kertas bernilai tertentu. Dimana logam mulia dan berlian dapat disetarakan nilainya dengan lembaran kertas bertuliskan angka-angka. Terlihat jelas bahwa dunia sudah “terbalik”.
Logika terhadap arti perdagangan sesungguhnya, terbalik di dalam sistem ekonomi yang dirintis dan dibangun para saudagar Yahudi. Pemberlakuan uang kertas dalam sistem ekonomi kapitalistik, yang begitu dibanggakan dunia itu, ternyata tidak berdaya dihadapan mata uang Dinar (emas) dan Dirham (perak). Disinilah kelemahannya.
Kelemahan ini harus dipungkas. Makanya, sistem pasar bebas pun “dipaksakan”. Tidak ada jalan lain membuang kelemahan sistem kapitalistik-liberalisme yang mereka buat itu, selain mendorong kuat-kuat pasar bebas. Tidak mungkin sebuah kawasan pasar bebas akan berjalan sempurna tanpa mata uang tunggal.
Jika tulisan ini hendak dituding sebagai anti-semit, boleh-boleh saja. Lagi pula kenyataan bahwa pasar bebas yang didorong para kapitalis dunia, memang sama sekali tidak akan membawa kebaikan. Ratusan tahun lamanya, para saudagar Yahudi telah membentuk perdagangan dunia—beserta semua komponen pendukungnya—seperti sekarang ini; pasar modal, uang kertas, sistem perbankan, bursa komoditas.
Mereka mengkritik sistem barter yang berlandaskan kesepakatan murni itu, sebagai sistem purba. Padahal, sesungguhnya sistem barter lebih adil, karena pertukaran tidak akan terjadi jika tidak ada kesepakatan yang diamini kedua pihak. Lebih terasa adil, karena pertukaran terjadi berdasarkan kuantitas dan kualitas barang. Bukankah menukar sebuah mobil Toyota New Camry dengan 80 ekor kerbau terasa lebih adil? Ketimbang menukar mobil tersebut dengan tumpukan kertas yang bertulis angka-angka?
Perbankan sering kali menjadi sasaran telunjuk tudingan ketika perekonomian sebuah negara diambang inflasi. Padahal, jika mau jujur dan adil, pasar modal-lah yang seharusnya paling bertanggungjawab. Di pasar absurd inilah nasib ratusan korporasi bergantung, yang otomatis menyeret komponen-komponen keuangan negara jika terganggu.
Di tangan-tangan para pialang di lantai bursa, nasib ratusan perusahaan dipertaruhkan. Bagaimana mungkin, kelangsungan hidup perusahaan, Anda dipertaruhkan di tangan para pedagang saham? Bagaimana mungkin, fundamen keuangan perusahaan, Anda gantungkan pada lembaran-lembaran kertas yang disebut saham? Mekanisme refreshing modal tidak harus mengundang pihak ketiga dengan menempuh cara pencatatan saham perdana, bukan?
Dana pihak ketiga bisa Anda undang dengan penawaran langsung ke pihak ketiga dengan kesepakatan pembagian keuntungan yang lebih adil. Atau, bukankah lebih baik, Anda biarkan perusahaan Anda bersaing secara normal, tumbuh secara normal. Ini pun dikatakan purba oleh para kapitalis itu. Padahal ini jauh lebih adil, jauh lebih aman, dan jauh lebih nyaman.
Seperti tidak cukup, dengan mengatur aliran modal dalam bursa saham, sistem kapitalistik-liberal pun mengatur perdagangan komoditas. Melalui markas besarnya di Amsterdam sana, mereka mengatur komoditas mana saja yang pantas diperjual-belikan secara internasional; menentukan harga terhadap komoditas-komoditas tertentu—yang mana yang berharga tinggi, dan mana yang berharga rendah—sehingga mengganggu pemerintah negara tertentu yang mengandalkan pendapatan negara dari sektor pertanian/perkebunan; menentukan perusahaan mana saja yang bisa menguasai lalu-lintas komoditas tertentu, dan komoditas mana yang tidak; menggunakan akal-akalan “product specification” untuk membentengi saingan usaha memperoleh komoditas serupa dipasaran.
Padahal, tanpa standar spesifikasi produk pun, suatu coklat yang disebut coklat nomor satu, dan coklat nomor dua, jika diproses akan sama-sama menghasilkan pasta cokelat juga kan? Selama makanan tersebut layak konsumsi—bersih, bebas bakteri, halal, menyehatkan—buat apa semua standar itu.
Mereka menyitir, bahwa bursa komoditas akan menghilangkan praktek monopoli terhadap komoditas tertentu, ternyata justru makin mendorong maraknya praktek monopoli yang dimaksud. Jika tidak ada praktek monopoli, lantas mengapa sejumlah komoditas tertentu sulit ditemukan dipasaran hingga harganya melambung begitu tiba di tangan konsumen?
Tanpa bursa komoditas pun, lalu-lintas perdagangan komoditas dunia bisa berjalan lancar. Saya sama sekali menghapus kemungkinan, adanya korporasi atau negara yang dapat menguasai pembelian satu jenis komoditas, tanpa perlu diawasi sekalipun. Sebab, permintaan akan komoditas tertentu akan selalu berbanding lurus terhadap produksi komoditas tersebut. Itu logikanya.
Maka, dengan berbagai unsur-unsur kunci di atas, dapatlah kita memberi maklumat paripurna atas penolakan penuh dan keras terhadap Pasar Bebas. Memberi ruang terhadap pasar bebas, sama artinya membuka pintu terhadap penjajahan terhadap individu-individu manusia (konsumen)—termasuk diri saya, dan Anda; Kita.
Jika Peta Jalan Lama Imperialisme memberi ruang terhadap penjajahan dan kolonialisme terhadap wilayah, maka Peta Jalan Baru Imperialisme yang diformat dalam bentuk panel Pasar Bebas (FTA) akan menghilangkan/menggantikan wilayah jajahan dan kolonialisme itu ke dalam bentuk ruang yang lebih individual; merubuhkan humanitarianisme, menghancurkan hakikat kemanusiaan.
Imperialisme itu akan berpindah ke ranah yang lebih subtantif; konsumerisme. Menjadikan manusia sebagai sasaran empuk serbuan produk; perpindahan arus amoralisasi barat ke timur; membuka jalan bagi kepentingan akulturatif hingga menghilangkan kemurnian kultur yang ada; menyuburkan praktek human traficking dan drug traficking; mendongkrak pengangguran dan kemiskinan; sekaligus secara pasti membuka zona-zona demoralisasi dan kriminalisasi global dengan wajah yang lebih ekstrem.
Maka, tegaslah dengan menolak sepenuhnya pasar bebas. NO FREE TRADE. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H