Nestapa Nelayan Kodingareng: Lampu Hijau Tambang Pasir Laut Spermonde Merugikan Para Nelayan
Permainan Oligarki
Sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh Presiden Megawati pada Februari 2003 yang melibatkan Meteri Industri dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Lingkungan Hidup, ekspor pasir laut dinyatakan dilarang. SKB ini diterbitkan dengan tujuan untuk mencegah pendangkalan yang berakibat tenggelamnya pulau-pulau kecil di Kepulauan Spermonde. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi dan menjaga kelestarian alan dan biota laut yang ada di dalam nya. Jika aktivitas ekspor pasir laut ini dilakukan dalam jangka panjang, maka dampak nya akan sangat merugikan masyarakat Pulau Kodingareng yang Sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan.
Memasuki tahun 2023, Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2023 kembali membuka penambangan pasir bawah laut yang salah satu nya berlokasi di Kepulauan Spermonde, dengan dalih untuk proyek strategis nasional. Tindakan pemerintah dengan membuka kembali aktivitas penambangan pasir laut akan merusak ekosistem laut yang ada di dalamnya. Terumbu karang sebagai habitat ikan menjadi terancam keberadaannya akibat penambangan pasir. Hal ini akan menjadi bumerang bagi pemerintah, karena nelayan akan dirugikan. Populasi ikan yang semakin menipis mengancam pendapatan dan hasil panen yang diperoleh nelayan. Jerih payah nelayan yang mengarungi ganasnya ombak lautan, harus terbuang percuma akibat menurunnya populasi ikan.
Praktik Greenwashing
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah berkata, "Ini adalah greenwashing ala pemerintah. Pemerintah kembali bermain dengan narasi yang seakan mengedepankan semangat pemulihan lingkungan dan keberlanjutan, tetapi nyatanya malah menggelar karpet merah untuk kepentingan bisnis dan oligarki". Greenwashing merupakan sebuah praktik kampanye pemulihan lingkungan yang dilakukan untuk menutupi dampak kerusakan lingkungan yang sebenarnya terjadi. Larangan ekspor pasir laut beralih menjadi eksploitasi pasir laut untuk memenuhi kebutuhan komersial. Afdillah menambahkan apabila penambangan pasir laut ini tidak dihentikan, maka masyarakat pesisir akan mengalami kerugian karena perubahan kondisi ekologis akibat tambang pasir laut.
Kerugian yang diderita oleh nelayan dapat mencapai angka jutaan rupiah. Eksternalitas negatif ini berujung menjadi unjuk rasa damai yang dilakukan oleh para nelayan Pulau Kodingareng, Sulawes Selatan. Para nelayan menuntut agar Gubernur Sulawesi Selatan mencabut izin penambangan pasir laut yang selama ini mengancam mata pencaharian para nelayan. Buruknya ekosistem biota laut akibat tambang pasir laut membuat populasi ikan menyusut drastis. Kerugian yang diderita oleh para nelayan Pulau Kodingareng ditaksir mencapai 2,5 juta rupiah. Perusahaan tambang pasir asal Belanda, PT. Royal Bokalis Internasional juga turut andil dalam aksi degradasi ekosistem laut Spermonde.
Teori Ekonomi Berbicara
Degradasi ekosistem laut Spermonde memicu munculnya eksternalitas negatif yang memukul kekuatan perekonomian masyarakat Pulau Kodingareng. Eksternalitas negatif adalah kondisi dimana total keuntungan sosial atau Marginal Social Benefit (MSB) berada dibawah total keuntungan privat atau Marginal Private Benefit (MPB). Secara sederhana, kurva permintaan yang diinginkan oleh masyarakat berada dibawah permintaan pasar swasta. Dalam hal ini, permintaan pasar swasta direpresentasikan oleh PT. Royal Bokalis Internasional sebagai eksekutor penambangan pasir laut.