Mohon tunggu...
AdityaSan
AdityaSan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

rara avis in terris nigroque simillima cygno!

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Meikarta: Blunder bagi Lippo Group

15 Maret 2023   08:53 Diperbarui: 16 April 2023   22:29 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari sekian proyek real-estate yang dikelola oleh Lippo Group, Meikarta adalah salah satunya. Sebuah konsep kota mandiri dengan segudang fasilitas dan utilitas di dalamnya yang mencakup apartemen, sekolah, rumah sakit, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dipelopori oleh Lippo Group yang telah berpengalaman pada bisnis real-estate dengan produk-produk mereka seperti Holland Village, Cempaka Putih, Jakarta Pusat; Orange County, Bekasi; dan Millenium Village, Tangerang, Banten. Konsep mega proyek real-estate ini diusulkan oleh konsorsium asing dari China yang menawarkan ide mereka kepada PT. Lippo Cikarang Tbk (PT LPCK) karena pengalaman mereka pada bisnis sektor properti dan real-estate. Dalam proses pembangunan Meikarta, PT LPCK dibantu oleh PT. Mahkota Sentosa Utama (PT MSU) yang juga memegang tanggungjawab dalam proses pengembangan Meikarta.

Meikarta ditempatkan pada koridor wilayah antara Jakarta -- Bandung. Sebuah keistimewaan dengan jalur mobilitas masyarakat yang berpotensi memberi keuntungan bagi masyarakat internal maupun eksternal Meikarta. Terlihat jelas, PT LPCK berambisi untuk menjadikan Meikarta sebagai metropolitan yang mandiri, industrial, eco-friendly, dan bersifat sustainable. Harapannya, ambisi ini akan mengantarkan Meikarta sebagai hunian real-estate berkelas di Asia Tenggara.

PT LPCK berhasil menjual sebanyak 16.800 unit apartemen pada penjualan perdana pada tanggal 13 Mei 2017 yang digelar di Maxxbox Orange County, Bekasi, Jawa Barat. Bahkan, Chief Marketing Officer Lippo Homes, Jopy Rusli menyampaikan bahwa 99.300 unit apartemen berhasil terjual pada saat Grand Launching Meikarta di Maxxbox Orange County, Bekasi. Untuk mendanai pesanan yang mencapai ratusan ribu unit, pembangunan Meikarta menelan biaya yang ditaksir mencapai lebih dari 278 triliun rupiah.

Hasil penjualan apartemen oleh PT LPCK bisa dipandang sebagai dua koin dengan sisi yang berbeda. Angka penjualan yang fantastis berpotensi menggugah investor asing untuk menanamkan modal. Disisi lain, kesuksesan hasil penjualan oleh  PT LPCK menuai ironi ditengah menurunnya indeks harga saham properti di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dari kuartal I tahun 2015 hingga akhir kuartal II tahun 2017 angka penjualan unit properti mengalami penurunan. Dengan kata lain, Meikarta seolah sukses melakukan ekspansi pada sektor real-estate ditengah melemahnya indeks harga saham sektor properti di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sebuah ironi yang mengejutkan, dimana PT LPCK mampu menjual produk real-estate mereka dalam jumlah masif sedangkan sektor penjualan properti dan real-estate sedang kurang diminati akibat menurunnya harga tukar rupiah terhadap dolar dan rendahnya daya beli masyarakat terhadap sektor properti.

Memasuki tahun 2018 mega proyek Meikarta berhenti seketika sebagai imbas ditinggalkan oleh konsorsium asing yang awalnya mengundang Lippo Group untuk bersama-sama mengelola dan mendanai mega proyek ini. Maka, proyek dibebankan kepada PT LPCK sebagai pihak yang bertanggungjawab melanjutkan proyek karena PT LPCK menguasai 49 persen saham PT MSU sebagai pengembang Meikarta. Sedangkan 51 persen sisa saham dikuasai oleh konsorsium asing. untuk melanjutkan proses pembangunan, PT MSU memperoleh suntikan dana 4,5 triliun rupiah dari PT LPCK untuk menyelesaikan mega proyek Meikarta secepatnya.

Bak efek domino, dilakukan proses audit terhadap jumlah unit apartemen yang berhasil dipesan. Dari 99.300 unit yang dipesan, ternyata hanya 18.000 unit yang tervalidasi telah dibeli oleh konsumen. Presiden Direktur PT LPCK Budi Ketut Wijaya membeberkan fakta dibalik polemik Meikarta pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) oleh Komisi VI DPR dari Fraksi Gerindra, Andre Rosiade. Ketut mengatakan bahwa pihak konsorsium asing sengaja memperbanyak jumlah pemesanan melalui agen-agen properti yang dikelola oleh pihak konsorsium agar mendapat komisi. Jumlah lahan yang dibuka untuk 18.000 unit apartemen ternyata hanya seluas 84 hektar, dan bukannya 500 hektar sesuai dengan yang disampaikan saat acara Meikarta Grand Launching. Jelas sangat tidak mencukupi untuk proses pembangunan apartemen dan fasilitas-utilitas lain.

Lippo Group sendiri tersandung kasus korupsi berupa penerimaan dana suap yang berujung pada Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Maret 2018. Rupanya KPK berhasil mengendus aliran dana ilegal berkaitan dengan mega proyek Meikarta. Menangkap Direktur Operasional Group Billy Sindoro dan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin bersama tiga kepala dinas. Kasus suap ini sebagai buah dari masalah perizinan yang dialami PT LPCK yang kemudian berimbas pada melambatnya proses pembangunan Meikarta.

Ada kemungkinan Lippo Group kurang atau bahkan salah membaca situasi pasar sektor properti dan real-estate yang sedang melemah di Indonesia. Kita dapat melihat kembali di youtube sebuah iklan tentang megahnya Meikarta di masa depan dengan segala fasilitas dan utilitas yang dimilikinya. Masyarakat tentu saja tergiur oleh iklan tersebut tanpa tahu apa yang akan terjadi. Dan benar saja, di tahun 2018 mega proyek Meikarta mangkrak selepas ditinggalkan oleh konsorsium asing yang sebenarnya masih memiliki tanggungjawab untuk mendanai proyek. Hingga kasus ini mengalir ke meja hijau, dimana para konsumen menuntut kembali uang yang telah mereka keluarkan. PT LPCK bahkan menuntut 18 orang dari para konsumen Meikarta agar membayar ganti rugi Rp 86 miliar atas tuduhan pencemaran nama baik.

Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, daya beli masyarakat yang rendah terhadap produk-produk properti dan real-estate, dan menurunnya indeks harga saham sektor properti diduga menyebabkan konsorsium asing pergi meninggalkan mega proyek Meikarta. Tumbuhnya Meikarta ditengah lesu nya sektor properti dan real-estate ternyata belum cukup untuk menjadi indikasi bangkitnya bisnis pada sektor properti dan real-estate di Indonesia. Pada akhirnya, PT LPCK harus menerima kenyataan bahwa konsorsium asing dari China yang semula bersedia menanamkan modal, harus angkat kaki secara mendadak tanpa alasan yang jelas dan tanpa sempat untuk menagih tanggungjawab konsorsium asing melalui jalur hukum.

Tawaran ide proyek dari konsorsium asing bisa menjadi peluang emas bagi PT LPCK. Sayangnya, situasi pasar sedang tidak mendukung. Atau, pihak Meikarta sendiri yang kurang tegas terhadap konsorsium asing tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun