Mohon tunggu...
Ilham Perkasa
Ilham Perkasa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Relokasi Kampung Pulo, Adakah Rasa Kemanusiaan?

13 Desember 2016   23:40 Diperbarui: 14 Desember 2016   00:36 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rusun Jatinegara (Sumber: liputan6.com)

Jakarta merupakan kota terbesar di Indonesia. Pertumbuhan penduduk yang tinggi tentu tak lepas dari masalah perkotaan, seperti padatnya pemukiman. Salah satu pemukiman padat penduduk di Jakarta adalah kawasan Kampung Pulo. Kawasan seluas 8,5 hektare ini sudah ada sejak 1930, tepatnya di tepi Sungai Ciliwung. Disini tiap tahun terjadi banjir. Pemerintah menilai bahwa kawasan ini adalah tanah negara sehingga warga akan digusur agar Pemprov DKI bisa menormalisasi Sungai Ciliwung.

Terjadilah penggusuran kawasan Kampung Pulo yang diwarnai kericuhan pada Kamis, 20 Agustus 2015. Ada 3.809 warga terdampak dan 527 bangunan rata dengan tanah. 2.152 personel TNI, kepolisian, dan Satpol PP dikerahkan untuk menjaga ketertiban penggusuran. Warga yang telah lama mendiami kawasan ini tak bisa melakukan pembelaan. Mereka padahal memiliki sertifikat tanah jenis verponding di kawasan ini. Verponding adalah surat tagihan pajak atas tanah atau bangunan pada masa lampau, sekarang disebut sebagai Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB). Warga telah mengajukan konversi menjadi SHM, tetapi ditolak. Pemerintah seakan menutup mata, tak mau tahu masalah warga.

Penduduk yang tergusur, oleh pemerintah, disediakan rumah baru berupa dua tower rumah susun sewa setinggi enam belas lantai yang berisi 518 unit yang nyaman dan bersih di Jalan Jatinegara Barat, Jakarta Timur. Tapi setelah penduduk Kampung Pulo pindah ke rusun ini, masalah tak kunjung reda. Baru seminggu dihuni, lift sudah rusak. Anak – anak menggunakan lift bukan untuk peruntukan yang seharusnya, mereka bermain lift. Warga yang tinggal di lantai atas menjadi kepayahan. Mereka harus menggunakan tangga untuk mencapai unitnya di lantai atas. Selain itu, mekanisme penggantian rumah tergusur dengan rusun yaitu satu rumah yang tergusur mendapat satu unit rusun. Tak ayal, hal ini menyengsarakan rumah tergusur yang berisi lima kepala keluarga. Akibatnya lima KK ini berjejalan dalam satu unit rusun yang relatif sempit (6x5 meter). Hal lain yang dijumpai adalah ternyata menghuni rusun ini tidak secara cuma – cuma. Memang dalam jangka tiga bulan pertama biaya digratiskan, namun setelah itu warga diwajibkan membayar Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) sebesar Rp300 ribu per bulan. Biaya ini belum termasuk pemakaian listrik dan air.

Rusun Jatinegara (Sumber: liputan6.com)
Rusun Jatinegara (Sumber: liputan6.com)
Berpuluh – puluh tahun warga Kampung Pulo menghuni rumah tapak. Dengan pindah ke rusun secara dadakan seperti ini, menimbulkan dampak sosial yang sulit diterima. Warga kesulitan bersosialisasi atau bercengkrama dengan para tetangga. Hal ini membuat kenyamanan menghuni rusun berkurang. Mereka belum terbiasa berkehidupan vertikal.

Di Solo, tahun 2012 terjadi relokasi yang disambut dengan senang hati oleh 104 PKL di Jalan Veteran Pasar Kliwon. Mereka dipindah ke Pasar Notoharjo dan Pasar Gading dengan diarak. Pendekatan dialogis dilakukan sebelum merelokasi PKL, sehingga Pemkot Solo mengetahui apa saja kebutuhan dan masalah PKL. Promosi sebelum relokasi dilakukan oleh Pemkot Solo, juga pembenahan fasilitas di tempat baru, serta relokasi sesuai spesialisasi barang dagangan. Pendekatan dialogis patut dicontoh.

Sudah seharusnya pemerintah tak hanya main gusur. Harus relevan dan sesuai kondisi. Warga yang punya sertifikat tanah tetap saja terkena imbas. Hal ini perlu dipikirkan secara mendalam.

Sudah seharusnya pemerintah tidak sekadar membangun, tapi juga harus memperhatikan kebutuhan warganya. Mekanisme penggantian rumah tergusur juga harus adil. Mana mungkin satu unit rusun dihuni lima kepala keluarga, seharusnya satu KK mendapat hak satu unit rusun. Selain itu, perlu dilakukan edukasi mengenai fasilitas rusun yang harus dijaga bersama. Hal lain adalah sistem sewa rusun yang berbanding terbalik dengan tujuan menyejahterakan warga. Membayar sewa tentu menambah beban ekonomi warga, sementara di rumah lama mereka bebas biaya. Perlunya penyediaan fasilitas warga untuk berinteraksi juga penting, mengingat rasa persaudaraan yang kuat diantara warga kampung. Kita berharap kejadian yang menimpa Kampung Pulo ini tak akan terjadi lagi dimasa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun