Mohon tunggu...
Ilham Nurdin
Ilham Nurdin Mohon Tunggu... profesional -

Bermimpi suatu saat bisa menikmati secangkir teh bersama Rasulullah. Kunjungi Blog Saya http://ilhamnurdin.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Eike Cowok Feminim?

25 Juni 2015   16:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:12 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sejak bulan maret 2015, saya mulai bekerja di sebuah rumah sakit di Jakarta. Seperti biasanya, setiap dokter yang akan melakukan praktik kedokteran harus melakukan serangkaian tes untuk memastikan dokter tersebut dalam kondisi siap berpraktik kepada pasien. Ada salah satu tes yang menarik, namanya tes MMPI. Anak kedokteran pasti tahu tes ini. Saya belum pernah mengikuti tes ini sebelumnya meskipun sebagai dokter saya tahu tentang tes ini. Tes MMPI itu tes psikologi yang digunakan untuk proses diagnosa gangguan jiwa oleh psikiater. Tesnya berupa pertanyaan dengan jawaban setuju atau tidak setuju yang bisa menghabiskan waktu sampai 2 jam. Lumayan lama.

 Saya ikut tes MMPI ini dua kali, tes yang pertama dibatalkan karena tidak terbaca oleh psikiater, entah karena apa penyebabnya. Katanya teman yang lain, mungkin saya agak lebay mengisinya, tidak konsisten, cenderung untuk tidak jujur  atau bisa saja karena tidak konsentrasi pada saat tes. Saya cuma bisa pasrah, dua jam terbuang sia-sia. Terpaksa deh ikut tes lagi. Kali ini saya kerjakan tes secara baik-baik, saya isi sesuai diri saya yang sebenarnya berharap nanti tes keluar apa adanya.

 Sampailah dimana seluruh tes akan diumumkan, tes kompetensi, tes psiko dan tes MMPI. Saya cuma penasaran dengan tes MMPI ini, karena yang lainnya sepertinya no problem. Psikiater membacakan hasil tes MMPI di depan dokter-dokter komite medik. Dia bilang indeks kapasitas mental, profil klinis dan indeks kepribadian dasar saya bagus dan tidak ada masalah, saya bisa mendapatkan kewenangan klinik untuk berpraktik. Tapi tiba-tiba psikiater bertanya kepada saya:

 “Apa kamu suka keindahan, suka bunga-bunga, suka warna-warni”.

 Saya cuma tersenyum. “iya, saya suka yang indah-indah, warna-warni, bukannya semua orang suka indah-indah”, bisikku dalam hati.

 “Kamu mempunyai nilai feminisme yang tinggi” lanjut psikiater.

 Apa…? Saya Feminim..? Saya kaget dan langsung tertawa terbahak-bahak, semua dokter penguji dalam ruangan juga ikut bergumuruh. “apa iya saya cowok feminim?” rasanya saya ingin muntah mendengarnya. “jangan sampai deh, amit-amit”. Saya cowok tulen kok. Cowok feminim itu kan identik dengan bencong, waria atau pria penyuka sesame jenis. Tidaklah yah, saya tidak seperti itu. Masa saya mau disamakan dengan pria ayu yang selalu berkostum norak, pakai rok diatas paha, pakai baju ketat sambil umbar pusar. Ditambah lagi bibir semerah dan se-hot cabe rawit serta make up setebal tembok besar China. Perasaan saya tidak punya ketertarikan sama sekali ke sesama jenis. Buktinya, saya punya istri seorang wanita (bukan pria) dan sebentar lagi dengan izin Tuhan punya anak yang kedua. 

 Bicara soal cowok feminim, Ada hal menarik nih, ternyata berdasarkan riset jurnal hormones and behavior, cowok feminim yang sering disebut sindrom klinefelter ini justeru memiliki nafsu seksual yang tak terpuaskan dan sangat buas di ranjang. Makanya jangan pernah meremehkan cowok feminim. Waspadalah… Hehehe..

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun