Sritex adalah perusahaan tekstil besar milik keluarga. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1966 oleh HM Lukminto. Setelah puluhan tahun berdiri, Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Akibatnya, PT Sritex dan anak perusahaannya mem-PHK ribuan karyawan sepanjang tahun ini sehingga banyak orang kehilangan pekerjaan.
Nah, pada kali ini kita akan membahas terkait manajemen keuangan pada PT Sritex. Seperti yang kita ketahui PT Sritex mengalami kebangkrutan karena adanya pembengkakan utang yang sangat tinggi. Pada kasus ini terlihat jelas bahwa pengelolaan manajemen keuangan dan manajemen risiko pada PT Sritex ini masih buruk sehingga mengakibatkan kebangkrutan.
Adapun alasan kebangkrutan PT Sritex, antara lain:
Pertama, PT Sritex sangat bergantung pada utang sebagai sarana pembiayaan ekspansi dan kegiatan operasional perusahaan, mengingat kesesuaian perusahaan untuk membayar utang tersebut dalam lingkungan bisnis yang tidak menentu. Selanjutnya, ekspansi yang didorong oleh utang besar menunjukkan ketidakmampuan perusahaan untuk membiayai pertumbuhan secara internal, dan juga dapat dianggap sebagai tanda yang manajemen modal kerjanya tidak efisien.
Struktur modal perusahaan sangat rentan karena ketergantungan yang berlebihan pada hutang, dan modal kerja yang tidak mencukupi meningkatkan risiko likuiditas dan solvabilitas. Rasio utang yang optimal memerlukan pertimbangan beban bunga yang tepat agar biaya bunga yang berlebihan tidak mempengaruhi rasio ekuitas perusahaan.
Seharusnya Struktur utang yang sehat harus memperhitungkan pencapaian tingkat utang yang tidak akan menimbulkan pembayaran bunga yang berlebihan dibandingkan dengan ekuitas. Manajemen keuangan yang efektif harus menjaga tingkat rasio utang pada level yang tidak akan mengompromikan kesejahteraan keuangan jangka panjang bisnis, terutama mengingat perubahan pasar.
Kedua, PT Sritex Peningkatan utang seperti di Sritex harus dipantau dan direncanakan, serta perusahaan harus mempersiapkan strategi risiko yang memadai, misalnya, analisis risiko kredit dan penilaian likuiditas secara berkala. Kecakapan manajemen keuangan dilihat dari kemampuannya untuk mengantisipasi berbagai kasus dan telah mempersiapkan strategi risiko seperti, bagaimana cara mengurangi biaya operasional jika perusahaan menerima pendapatan lebih rendah, atau bagaimana membayar bunga lebih tinggi, dan lain-lain.
Kesimpulan
Kenyataannya bahwa PT Sritex memiliki utang yang besar mencerminkan pengelolaan keuangan yang kurang optimal dapat meningkatkan risiko kebangkrutan.
Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan struktur utang perusahaan, kurangnya identifikasi risiko likuiditas, dan kurangnya transparansi keuangan menjadi alasan utama ketidakmampuan Sritex mengatasi dampak keuangan krisis dalam menghadapi ketidakpastian makroekonomi.
Sebagai kesimpulan, studi kasus ini menunjukkan bagaimana pengelolaan utang jangka panjang yang efisien berkontribusi terhadap manajemen risiko perusahaan dan pengelolaan arus kas yang tepat untuk memastikan bahwa perusahaan terus berfungsi dengan lancar tanpa ketergantungan pada persaingan atau risiko kegagalan membantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H