Pagi tadi berjalan seperti biasanya, ada jam kuliah pagi. Kebetulan saya dan 3 teman melihat spanduk seminar yang membahas tentang “Hubungan Indonesia-Iran” ketika melewati depan fakultas. Langsung saja saya mengajak mereka untuk bergabung dengan seminar ini dengan men-skip satu mata kuliah. Ajakan saya bermula ketika melihat narasumbernya adalah Dubes Indonesia untuk Tehran, dalam pikiran terlintas “ini pasti keren”.
Dugaan bahwa ini “keren” memang benar adanya, pembicaranya adalah Dian Wirengjerit, beliau adalah seorang dubes yang ditugaskan disana. Kebetulan saya adalah mahasiswa jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam dan di kelas sekarang memang sedang trending topicnya membahas tentang sekte-sekte Islam yang muncul dan bagaimana perkembangannya. Kebetulan lagi, negara yang diberikan pada dubes ini adalah 98% menganut sekte Syiah yang menurut sejarah, umatnya lebih mengutamakan keturunan dari keluarga Nabi Muhammad. Saya beranggapan dengan mengikuti seminar ini bisa lebih tahu tentang Syiah, lebih-lebih tentang keadaan Sunni yang hidup dengan minoritas, atau lebih-lebih tentang konflik-konflik yang selama ini selalu dihembuskan oleh media.
Beliau, Pak Dian membuka pembicaraan dengan pertanyaan “bagaimana pendapat kalian tentang Iran?”, ada yang menjawab banyak konflik, kekerasan, dan sebangsanya. Pendapat yang belum saya keluarkan ternyata juga sama dengan seisi ruangan ini, yaitu tentang yang buruk. Memang kita terlalu banyak membaca media massa yang memberitakan tentang konflik-konflik di Timur Tengah yang masih segar seperti di Syria, Mesir, dll. Paradigma masyarakat Indonesia khususnya mahasiswa tentang Timur Tengah masih dibawah. Mereka dan juga saya yang sebelum mengikuti seminar ini menganggap bahwa Timur Tengah adalah suatu kawasan yang tandus, gersang, tidak nyaman untuk dihuni, banyak konflik, warga asli sana bersikap keras terhadap pendatang. Ini semua berkat dari efek media yang selalu memojokkan tentang Timur Tengah.
Iran adalah yang dulunya bergabung dengan Irak adalah kawasan kerajaan Persia Sasania dapat ditaklukan semasa Khulafa al-Rasyidun, kerajaan itu sangat besar namun Islam bisa menaklukannya, selain itu juga ada kerajaan besar lagi di utara Irak, yaitu kekaisaran Romawi yang terletak di Byzantium atau sekarang disebut Turki. Lalu di dalam perkembangannya Iran dipimpin oleh kerajaan-kerajaan besar setelahnya selama ribuan tahun dan baru-baru ini menjadi negara yang berbasis Republik, itu merupakan suatu revolusi yang besar pada seorang presiden yang bisa mengubah tradisi selama ribuan tahun hingga menjadi presidensial.
Iran yang memutuskan untuk menggunting benang dengan Amerika membuat Amerika mengembargo semua urusan yang dibutuhkan Iran meliputi ekonomi sebagian besar. Perlakuan seperti itu membuat Iran sempat terkatung-katung dengan ditambahnya perang dengan Irak selama 8 tahun. Bukan waktu yang singkat pastinya, namun jika dilihat dari sisi kegigihan dan nasionalisme yang dipendam setiap warga Iran membuat mereka tetap bertahan sampai sekarang menjadi negara yang mandiri dalam urusannya dengan memanfaatkan setiap peluang yang dicari pada setiap warga negara yang mempunyai potensi. Buktinya Iran sekarang mempunyai Nuklir yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari, “mereka juga mempunyai mobil nasional sendiri”, kata Pak Dian.
Beliau menjelaskan Iran adalah negara yang makmur, pandangan tentang setiap wanita berjubah atau laki-laki bengis itu semua salah. Mereka adalah kumpulan orang yang ramah dan tidak menyukai konflik. Perempuan dan laki-laki disana juga mempunyai mode sama seperti Hijab yang sekarang sedang trend di Indonesia. Pada perbedaan sekte juga tidak terlihat memerangi sekte sunni yang menjadi minoritas, mereka hidup berdampingan secara biasa antara sunni dan syiah. Suatu quote yang bagus dikemukakan oleh beliau “datang, lihat dan alami”, begitu katanya saat ia mendeskripsikan atau untuk melawan paradigm-paradigma yang ada pada masyarakat kita. Ia menyuruh kita datang kesana lalu mengamati kehidupan di Iran dan menikmatinya, “ternyata Iran itu indah dengan segala perbedaan yang dibawah bayang keburukan, ternyata Timur Tengah itu indah”. Mungkin itu adalah kata yang pas untuk menggambarkan Timur Tengah. Seharusnya kita sebagai saudara sesama muslim tidak harus beranggapan begitu, mereka menghormarti kita, tapi malah justru kita yang tidak menghormati mereka. Pikiran kita terlalu terpenjara akan keindahan Eropa, Amerika, gedung-gedung tinggi, café-café. Padahal jika dilihat, Timur Tengah akan lebih eksotis dari pada mereka. Timur Tengah selalu mengundang rasa penasaran akan sisa-sisa kebesaran Islam dulu jika kita tahu lebih banyak tentang sejarahnya dan kebaikannya. Seakan-akan pandangan kita dibutakan oleh konflik-konflik yang terjadi, hingga kita tidak bisa melihat semua kebaikan yang ada dibaliknya.
Sebagai mahasiswa sejarah saya mengajak teman-teman untuk mengatahui lebih banyak tentang Islam di masa lampau. Di masa dulu, apa yang dilakukan oleh orang-orang atas nama Islam tidak selalu baik, ada buruknya juga. Namun ternyata masih ada berjuta-juta kebaikan lewat sisa-sisa peninggalannya yang membentang dari barat wilayah Spanyol sampai India, bahkan di seluruh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H