Pembangunan infrastruktur di wilayah pesisir Jawa Tengah selalu menyimpan kompleksitas yang mendalam, terutama ketika bersinggungan dengan keberlanjutan ekosistem lingkungan. Proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) menjadi titik kritis pertemuan antara ambisi pembangunan dan kepentingan akan pelestarian lingkungan.
Dalam siaran pers dari situs Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak memiliki nilai investasi sebesar Rp5,44 triliun dengan skema kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Proyek jalan tol ini direncanakan akan dibangun sejauh 27 Km.
Proyek ini dinilai bertujuan untuk Peningkatan konektivitas dengan memperbaiki sistem transportasi yang menghubungkan Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Adanya peningkatan konektivitas tersebut diharapkan dapat memperlancar arus kendaraan antara kota Semarang dan Demak sehingga mengurangi kemacetan dan mempersingkat waktu tempuh, serta mendukung distribusi barang serta jasa di kawasan tersebut.
Hal ini tentu akan berdampak positif pada efisiensi logistik dan perekonomian regional.
Walaupun digadang-gadang akan menjadi solusi sementara banjir rob yang melanda wilayah tersebut, justru terdapat risiko ekologis yang tak dapat diabaikan. Risiko ekologis yang menjadi pusat perhatian dan paling terkena dampaknya adalah ekosistem hutan Mangrove.
Hutan mangrove bukan sekadar hamparan vegetasi, melainkan ekosistem vital multifungsi. Hutan mangrove berperan sebagai pelindung pesisir dari abrasi, habitat bagi beragam biota laut, penyerap karbon, dan sistem pertahanan alami dari ancaman bencana seperti banjir rob dan tsunami. Pentingnya keberadaan hutan mangrove sendiri sudah bisa dibuktikan dari bencana banjir rob besar di pantai trimulyo akibat kerusakan mangrove yang terjadi pada tahun 2012 lalu.
Trade-off antara pembangunan infrastruktur dan pelestarian lingkungan menjadi pertanyaan fundamental. Dari sisi ekonomi, proyek TTLSD ini memang berpotensi dapat meningkatkan perekonomian regional terutama di kawasan pesisir melalui peningkatan aksesibilitas. Namun, ”biaya” dari kerusakan lingkungan bisa berpotensi jauh lebih besar.
Adanya pembebasan lahan seluas 539,7 hektar juga dapat menghilangkan mata pencaharian masyarakat, seperti nelayan, petambak, dan para pedagang hasil laut. Menurut Hotmauli Sidabalok, pengajar Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang, dalam wawancaranya dengan Mongabay, ”Masyarakat yang terdampak akan pindah dari lokasi lama, untuk beradaptasi dengan tempat baru, dan mencari mata pencaharian baru”.
Sebagai solusi, strategi mitigasi yang tepat harus segera diambil. Program rehabilitasi mangrove perlu digalakkan, bukan sekadar formalitas, tetapi dengan skema kompensasi ekologis yang jelas dan terukur. Sebagai contoh, menetapkan kewajiban bagi pengembang untuk menanam kembali mangrove dengan rasio tertentu untuk setiap hektar lahan yang digunakan.
Jangan sampai proyek ini malah menghancurkan keragaman hayati, mengancam sistem pertahanan alami dari bencana tsunami, dan merusak mekanisme penyerapan karbon yang telah terbentuk selama puluhan tahun.